Bengkel Karya SMART

Selasa, 14 Oktober 2008
Berguru Pada Alam
Oleh: Ahmad Muhammad

Alam yang kita pijak ini merupakan suatu anugerah tak terhingga yang diberikan Tuhan kepada kita. Disamping memberikan segala yang kita butuhkan untuk hidup, seperti air, udara, tanah, alam juga mengajari kita banyak hal tentang hidup dan kehidupan. Banyak sekali pelajaran yang diberikan alam kepada kita jika kita memberikan sedikit waktu untuk melakukan perenungan. Alam mengajak kita untuk belajar kehidupan setiap saat, dan memberikan pelajaran kepada kita dengan bekerja tanpa banyak komentar apalagi interupsi.

Dari alam juga, banyak para tokoh yang mendapatkan inspirasinya dari sana. Sir Isaac Newton, ilmuwan besar penemu teori gravitasi menemukan teorinya itu terinspirasi dari buah apel yang jatuh mengenai kepalanya. Atau pernahkah anda mendengar ungkapan ‘Eureka’? Ungkapan yang sangat masyhur hingga sekarang itu berasal dari bibir Archimedes, orang pintar dari Yunani. Ungkapan itu meluncur ketika ia berhasil menemukan hukum hidrostatika yang terkenal itu, jika sebuah benda dimasukkan ke dalam air, maka air akan dipindahkan (tumpah) sebesar volume benda yang dimasukkan tersebut. Konon hukum itu ia temukan ketika berendam di bak mandi dan mengamati air dalam bak yang sebelumnya terisi penuh meluap tumpah ketika ia masuk kedalam bak tersebut.

Abul Anbiya’, Ibrahim as dalam pengembaraannya mencari Tuhan juga belajar melalui alam. Ibrahim menganggap bulan adalah tuhannya karena memberi penerang di tengah kegelapan. Namun ketika pagi datang kemudian matahari muncul dengan sinarnya yang lebih terang benderang, kesimpulan Ibrahim pada bulan berubah, kemudian menganggap mataharilah Tuhan yang maha besar itu.
Apa yang diharapkan Ibrahim pada matahari ternyata tidak memberi kepuasan batinnya tentang tuhan. Sebab ketika senja datang menenggelamkan matahari keperaduannya, Ibrahim pun berfikir mustahil tuhan menghilang. Masa-masa pencarian tuhan ini membawa Ibrahim pada pergulatan pemikiran yang sangat panjang. Sehingga sampai ia pada suatu kesimpulan bahwa apa yang dilihatnya itu adalah benda-benda yang memiliki pencipta (khalik) yang tak bisa dilihat, tak bisa digambarkan bentuknya, namun bisa dirasakan keberadaannya. Pencipta (Tuhan) inilah yang menjadi tujuan pencarian Ibrahim. Tuhanlah yang menciptakan alam yang luas dan permai ini.


Ketika menengadah keatas langit, perhatikanlah matahari, ia adalah symbol keadilan dan kasih sayang. Ia memberikan terangnya kepada seluruh manusia, tak peduli jahat atau baik, muslim atau non muslim, kaya atau miskin, semuanya mendapatkan sinar yang sama. Ia juga mengasihi makhluk Tuhan lainnya. Membantu terjadinya proses fotosintesis pada tumbuhan, membantu mempertemukan serbuk sari dan putik pada bunga, menjadikan dirinya pertanda bagi proses migrasi burung. Matahari juga dengan bijaknya selalu setia melaksanakan tugasnya dengan baik, terbit setiap pagi dan kembali ke peraduan pada sore hari. Tanpa protes tanpa keluhan.

Kita juga bisa belajar dari lebah, yang senantiasa bergandeng tangan bahu membahu menghasilkan sesuatu yang manis, bermanfaat bagi orang lain. Bekerja dengan hati yang riang dan semangat membara demi memberikan yang terbaik untuk orang lain.

Dari penguin, kita bisa belajar ketabahan dan pengorbanan. Pejantan penguin bersedia mengerami telur-telurnya di saat badai es dengan ganasnya menyerang, dengan setia ia menjaga bakal penerusnya itu dengan meletakkannya di atas kakinya, diam bergeming, walaupun ia harus menahan lapar dan haus sampai 4 bulan lamanya. Suatu pengorbanan luar biasa sampai-sampai tidak mempedulikan dirinya sendiri.

Bila kita melemparkan pandangan ke lautan yang luas dan tenang, kita bisa petik pelajaran tentang kerendahan hati dan ketenangan. Semua air dari dunia ini, baik itu air comberan, air sungai, atau air limbah yang membawa penyakit semuanya bermuara dan bertemu di laut. Semuanya hidup rukun dan damai menjadi satu. Sementara sang laut mengayomi mereka semua dan rela menjadikan dirinya asin sebagai penawar bagi penyakit dan kotoran yang dibawa oleh mereka. Semua air menuju ke laut dan laut dengan setia selalu menerimanya. Sebagai pelajaran, orang yang merendah dan berlapang dada selalu diterima dan dicintai semua orang, lain halnya dengan orang yang tinggi hati, orang segan mendekat, jurangnya dalam dan tak semua orang mampu untuk menggapainya.

Dari makhluk Tuhan lain yang katanya tak berakal ini, banyak sekali pelajaran yang dapat kita petik buahnya. Seekor salmon yang mengajarkan pengorbanan sehingga ia mampu menempuh perjalanan bermil-mil jauhnya hanya untuk melestarikan keturunannya. Hujan yang turun ke bumi kehadirannya sangat dinantikan untuk menyejukkan alam yang kering, membasahi bumi dan memberikan kehidupan pada makhluk yang lain, mengajarkan agar selalu melihat ke ‘bawah’ agar bermanfaat kepada yang lain. Dari pohon bambu kita bisa belajar akan ketegaran dan dan keluwesan, sekencang apapun angin yang meniupnya bambu selalu bisa berdiri dan tegak kembali, sedahsyat apapun ujian yang kita hadapi hendaknya selalu berusaha untuk bangkit kembali. Semut kecil yang biasanya kita acuhkan, ternyata juga mencontohkan arti indahnya kerja keras dan gotong royong. Saling tolong saling bantu demi tercapainya tujuan bersama.

“Jadikanlah alam gurumu”, seru William Wordsworth suatu kali. Lewat puisi-puisinya penyair kawakan Inggris yang tenar pada pertengahan tahun 1800-an itu mengingatkan kita agar tak segan berguru pada alam. Imam Al Ghazali berkata, "Berjalanlah kamu di atas dunia ini, maka banyak yang akan kamu lihat". Masih banyak lagi hal lain yang mungkin bisa kita petik pelajaran dari alam. Itu hanya setitik contoh dari lautan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh alam. Dan sekali lagi kita sebagai manusia harus bersyukur. Kita harus berpikir seribu kali atau mungkin berjuta-juta kali atau mungkin seribu juta kali untuk membiarkan alam yang kita tinggali ini rusak oleh tangan kita sendiri. Masih banyak sekali "misteri" di alam kita yang belum kita ketahui. Untuk itu kita harus berusaha memulai dari diri kita sendiri, untuk menjaga agar alam yang kita tinggali ini tidak rusak oleh tangan kita sendiri.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS : Ali Imran 190-191)

Ahmad Muhammad
Kairo, setelah menonton “Planet Animal”
Baca Selengkapnya...!

Bengkel Karya SMART

Sabtu, 11 Oktober 2008
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Sobat PENA yang satu ini, Didi Suardi, menulis pengalaman pribadinya saat pertama kali datang ke Mesir. Bagaimana tegangnya, dan apa yang ia rasakan saat itu? Mari kita ikuti kisahnya.

Terdiam, Menunggu dalam Kekosongan
Oleh: Didi Suardi

Sebuah pengalaman yang menarik bagi penulis, dan sampai hari ini bayangan itu selalu dijadikan sebagai pijakan, motivasi dan pendorong buat saya peribadi. Mungkin kisah kecil ini tidak asing lagi di benak dan telinga kita. Bahkan ada sebagian diantara kita yang pernah mengalami apa yang penulis alami. Ada yang menganggap itu hal yang biasa atau lumrah tapi ada yang mengatakan itu justru menjadi antisipasi sekligus peringatan bagi kita khususnya sebagei pelajar mahasiswa. Plus Azhariyan.

Kami tidak akan menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini. Tapi ini lebih di titik beratkan pada diri kami. Kami lah yang menjalani dan kami pula yang harus menanggung resikonya. Situasi dan kondisi bukan lah segala penyebab mundur dan majunya seseorang rosib dan tidaknya sebuah kenajahan. Itu semua bukan sebuah alasan tapi yang menentukan adalah usaha kita. Sejauh mana kita berusaha dan bersungguh-sungguh serta tak boleh menafikan satu hal yaitu berdoa. Maka Insya Allah kita akan memetik hasilnya.

Kata orang kesuskesan itu selalu indentik dengan ujian dan kerja keras. Jadi kalau kita mau menjadi orang yang benar-benar suskses? Baik itu sukses di dunia maupun di akhirat. Jelas kita harus mengikuti arurannya. Sampai orang kaya pun pasti memiliki langkah-langkah atau tahapan-tahapan dimana untuk menjadikan ia kaya. Begitupun dengan kesuksesan.

Nah pada kisah kali ini penulis ingin mengutarakan sekelumit kisah yang menurut saya pribadi, kisah yang sangat berperan penting dalam sebuah kehidupan. Mudah-mudahan saja ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Ya! Ketika kami sampai di Negri yang dijuluki sebagai negri seribu menara ini. Sampailah saya dan teman-teman saya di rumah yang telah sediakan oleh broker kami. Alhamdulillah waktu itu kami baik-baik saja dan belum ada masalah apa-apa. Kurang lebih satu bulan hasil muqoyyad pun turun. Setelah kami mengecek ternyata muqoyyad kami bukan di Kairo melainkan di Tonto. Kami pun konfirmasi sama para senior untuk men-Tahwilkan kami dari Tonto ke Kairo. Apa pun resikonya dan mereka mau mengusahkannya.

Berangkat lah kami ke daerah sambil membawa berkas-berkasnya. Alhamdulillah ternyata semuanya berjalan dengan lancar. Tinggal menunggu hasih muqoyyad-nya. Kini kami sudah sudah bisa memastikan bahwa kami bisa kuliyah di Kairo. Kurang lebih satu bulan kami menunggu hasih muqoyyad-nya tapi tak kunjung turun juga. Kami khawatir sambil berharap-harap cemas. Munginkah kami keterima? Atau kah kami terpaksa kuliyah di daerah? Dan yang paling kami khawatirkan lagi, kami tidak masuk keduanya. Ditambah lagi kami belum sempat membeli buku diktat kuliyah. Saat itu kami bingung mana yang harus kami beli. Buku muqoror kuliyah kairo atau buku muqorrar Tanta.

Kini ujian tinggal kurang dari satu bulan lagi tapi muqoyyad belum turun juga. Kami semakin panik waktu itu, dengan perasaan yang sedikit terpaksa kami memutuskan untuk membeli buku diktat kuliath Kairo. Apa pun resikonya. Tapi ketika kami membeli ternyata sebagian dari muqararranya sudah pada habis. Cuma dua yang kami dapat.

Beberapa hari berikutanya muqoyyad-nya pun turun. Kami muqoyyad di kairo. Akhirnaya kami mulai untuk mengejer keteringgalan kami. Tapi tetap saja tidak bisa. Yang menurut hitungan jari ujian akan dimulai sebentar lagi.

Mungkin ini lah letak kesalahan kami kenapa kami tidak segera mengambil keputusan tanpa harus menunggu terlalu lama. Sampai akhirnya hampir menghabiskan waktu terlalu lama. Hanya dua kitab yang dapat kami seleseikan itu pun dengan bantuan bimbingan para senior. Sedangakan buku muqarrar yang selebihnya kami pinjam dari mereka tak sempat kami baca. Ujian termin petama al-Azhar kini suadah dimulai bagi yang Ushuludin dan Syariah hari berikutnya.

Saat kami menjalani ujian di al-Azhar, sudah sangat kerepotan sekali dari mulai cara belajarnya sampai dengan mengisi lembar jawabannya. Kalau hanya berbahasa Indonesia paling tidak kita bisa mengarang sedikit-sedikit tapi semuanya ini harus menggunakan tulisan Arab. Dua…tiga… mata kuliyah sudah kami lalui. Tinggal mata kuliyah yang ke-empat. Disini baru kami mengalami kendala dengan tuan tumah. Mereka menginginkan agar kami segera pindah dari rumah dengan alasan terlalu banyak yang tinggal dirumah itu. Perjanjian tuan rumah dan broker kami, rumah itu hanya boleh di tempati tak lebih dari 4 orang. Sedangkan kami semuanya ada 6 orang. Sebenarnya kami tidak tahu kalau ada peratursan seperti itu. Yang kami tau rumah itu disewakan untuk kami dengan harga yang telah disepakati.

Akhirnya dengan terpaksa kami harus pindah. Dia memberi kesempatan tiga hari. Kalau saja kami belum pindah mereka akan berlaku lebih dari hanya sekedar kata-kata. Dengan waktu yang sangat sedikit sekali, saya dan teman-teman serta dibantu juga oleh para senior segera mencari tempat tinggal baru. Tapi selama tiga hari itu pula kami belum mendapatkan rumah sama sekali. Sampai akhirnya kami menumpang di rumah teman-teman untuk semantara waktu.

Ujian yang tinggal satu kali lagi membuat kondisi kami berubah total, Belajar pun kadang kami lakukan di sembarang tempat. Yang penting buat kami bisa belajar.

Hampir pas satu bulan kami pun dapat rumah sewaan baru. Hari itu pula kami langsung bersiap-siap untuk pindah. Dan alhamdulillah kami bisa belajar dengan tenang.

Menurut kami, ini memang pengalaman yang pahit. Tapi ini mudah-mudahan bisa di buat pelajaran. Di samping itu pula, ini dapat mendidik kita untuk lebih giat dan rajin mundur serta melatih kesabaran juga. Walhamdulillahi Robil’alamin.

Game’ 09 September 2008

Baca Selengkapnya...!

Bengkel Karya SMART

Jumat, 10 Oktober 2008
Satu lagi cerpen karya sobat PENA. Buat para perokok, penting dan perlu untuk dibaca. Applause dulu deh, buat Said. Buat sobat-sobat penulis lainnya. Ditunggu karya-karyanya. Take care!

Free Smoke Area
Oleh: Nur Said

Tidak kusangka salah satu benda kesayanganku jadi pemicu masalah antara aku dan Dhina. Benda itu bukan motor Tiger unguku, celana belel atau miniatur-miniatur Mercy-ku. Benda itu murah, gampang didapat, dan selama ini tidak pernah absen menemaniku. Benda itu rokok.

Aku lupa bagaimana awalnya sampai Dhina begitu sensitif tentang ini. Bayangkan! Aku yang biasanya menghabiskan satu pak sehari dipaksanya berhenti. Itu namanya penyiksaan!

"Terserah kamu Mas. Pokoknya aku nggak betah ngobrol sama orang yang bau rokok. Apalagi dengan santainya merokok di depanku."

"Tapi Dhi, kamu dulu nggak pernah komplain soal rokok."
"Itu sebelum aku tahu gimana hebatnya benda jelek itu ngerusak tubuh kita."
Ah, dia nggak tahu sih nikmatnya mengisap lintingan tembakau itu.
"Aku akan sangat senang kalau kamu mau berhenti sedikit demi sedikit."
"Susah, Dhi…"
"Kamu belum nyoba."
"Sudah."
"Bohong!"

Aduh, ketus sekali dia. Coba kalau aku nggak sayang…"Dhi, aku kan punya hak untuk merokok." Aku berusaha merajuk. Dia tersenyum.
"Dan aku punya hak untuk menghirup udara yang bebas asap rokok." Dhina menatapku.

"Mas, di dunia ini ada banyak sekali orang macam kamu. Apa jadinya bumi ini kalau generasinya pada kecanduan rokok? Aku ingin mengubah hal itu. Kamu bantu dong!"

Aku mendengus sebal. "Sok idealis."
"Mas, gimana aku ngajak anak-anak kampus sementara cowokku sendiri perokok berat?"
Huh. Tadi sok tegas, sekarang mulai keluar manjanya. "Tauk. Aku ke kantin dulu. Lapar."
Kuseret kakiku asal-asalan. Meninggalkannya yang pasti sedang gondok kuadrat.
***
Semua berawal saat dia bergabung dalam Solidaritas Perokok Pasif, perkumpulan yang terbentuk setelah seminar tentang rokok dan dampak-dampaknya digelar di kampus beberapa bulan lalu. Sejak itu, hari-hari Dhina dipenuhi rapat-rapat penyusunan program pemasyarakatan lingkungan bebas rokok di kampus. Aku yang mengantar dan menjemputnya. Waktu itu dia belum terlalu cerewet. Tapi setelah kudengar mereka akan mengadakan kampanye antirokok, Dhina jadi superekstrem.

***
"Dhi, kalau kamu benar sayang aku, kamu terima aku apa adanya dong. Yang ada adalah Mas Said yang suka merokok."
Esok malamnya setelah pertengkaran itu, aku coba berbaikan.
"Kamu bau rokok!"
"Ya ampun Dhi, kamu keterlaluan!"
"Mas, kalau kamu tetap seperti ini, paru-parumu bisa bolong. Kamu bisa kena kanker, belum lagi…"
"Nggak usah dijelasin aku juga udah tahu."
"Kalau begitu kamu bego banget. Udah tahu tapi sok gengsi nggak mau berhenti."

Ugh, menyebalkan! Kuambil rokokku lalu kunyalakan. Di depannya. Tidak mengacuhkan tulisan besar di dinding teras: Free Smoke Area. Tapi belum sempat menyala, direbutnya rokok itu lalu dibuangnya. Kuambil rokok kedua. Dhina merebutnya lagi. Rokok ketiga, lagi-lagi dirampasnya. Rokok keempat, hei, dia membiarkannya. Aku menang!

"Kamu pulang aja deh," ucapnya ketus.
Tanpa menunggu reaksiku, dia masuk rumah dengan membanting pintu. Rokok tidak jadi kuisap. Aku memandanginya lalu membuangnya bersama-sama tiga rokok sebelumnya. Kurasa aku kalah.
***

Dhina belum juga menghubungiku. Padahal aku yakin dia akan menyerah dan minta maaf. Aku sendiri berat hati untuk meninggalkan rokokku tersayang.

Kampanye sudah mulai berjalan. Poster, karikatur, dan spanduk menghiasi kampus. Sebal aku melihatnya. Tapi mereka berhak melakukan itu. Dan aku berhak merokok.

Akhir minggu ini, parade band plus basar dilangsungkan. Bodoh. Mana ada anak band bersih rokok? Dan sekarang justru band yang dipakai sebagai alat kampanye.

Aku sengaja singgah di stan Dhina. Kulihat ada buku-buku yang 100 % menghina rokok. Kucomot satu. Kulihat judulnya. Tentang orang-orang yang kencanduan rokok tapi berhasil keluar dari ketergantungannya.

Kulirik Dhina. Dia sibuk menjelaskan pada pengunjung hal-hal yang sebetulnya sudah jelas. Dia tidak melihatku atau pura-pura tidak melihatku?

"Mulai tertarik nih?" Akhirnya dia menyapa.
"Nggak juga. Aku kangen sama yang jaga stan," godaku.
"Kamu sial Mas. Karena penjaga stan ini ingin memberimu buku itu cuma-cuma." Dhina menunjuk buku di tanganku.
"Nggak tertarik." Kuletakkan buku itu.
"Sudah kubilang, buku itu buat kamu. Terserah mau kamu apain."
Ah, senyum menyebalkan itu lagi. Sebelum kepalaku meledak, aku pergi dari sana.
"Hai Mas!"
"Hei, Fer. Ngeband?"
"Yoi. Aku gabung band baru. Bandku bintang tamu di sini."
"Hebat," pujiku. Nggak heran sih. Fery jago main berbagai alat musik. Terutama gitar. Aku pernah dikalahkannya pada festival band waktu SLTA dulu.
"Buku apaan?"
"Eh, bukan punyaku." Cepat-cepat kukibaskan buku itu. Kalau Fery melihat judulnya, bisa malu aku.
"Wah, buku bagus tuh. Aku berhenti merokok juga dibantu buku itu."
Ha? Aku ternganga. Fery yang ngajarin aku merokok dan sampai terakhir ketemu, waktu festival band, levelnya jauh di atasku. Dan sekarang dia bilang sudah berhenti?
"Berhenti?"
"Sama sekali. Memang butuh waktu dan pengorbanan. Kamu sendiri?"
"Masih. Kenapa berhenti Fer?"
"Kita tahu jeleknya rokok. Dulu aku sebal waktu disuruh berhenti. Tapi setelah aku ke dokter dan tahu kalau paru-paruku sudah mirip permukaan bulan, aku ngeri. Bahkan dokter bilang aku bisa kehilangan kakiku kalau aku masih bandel. Aku menyerah."

Aku terdiam. Dampak-dampak itu aku sudah tahu. Sebenarnya apa yang membuatku enggan berhenti? Gengsi?

"Paling susah kalau ngumpul teman-teman. Tapi lambat laun mereka mendukung juga. Aku siap-siap dulu Mas. Sebentar lagi giliranku."

Aku tersenyum. Kubuka buku dari Dhina. Kubaca sedikit dan aku tidak menyangka kalau aku tertarik. Ah, aku kok jadi ingin mencoba berhenti ya?

***
Dhina kelihatan capek. "Sudah mau pulang?"
"Mau nganter?"
"Yap."
"Kubereskan ini dulu."
"Kubantu." Dhina tersenyum. Dia masih manis meski terlihat kuyu.
"Dhi, bukunya oke. Buku sialan itu berhasil mempengaruhi aku." Kucoba mencairkan suasana.
Senyum terulas di wajah Dhina.
"Jangan diam aja dong."
"Aku senang begomu sudah hilang."
Cewek ini tangguh benar. "Aku sadar nggak ada alasan terus menjalani kebiasaan buruk ini."
"Dari dulu juga begitu."
"Yang romantis dikit dong Dhi."
"Oke, pacarku sayang. Aku seneeeng banget kamu mau coba berhenti merokok."
"Tapi nggak sekaligus lho."
"Iya aku tahu. Kurangi sedikit demi sedikit. Aku bakal jadi pengawas yang galak. Mas, anggap ini sebuah kontes."
Aku mengernyitkan dahi.
"Bisa berhenti berarti menang."
"Hadiahnya?"
"Tentu saja kamu jadi sehat?"
"Itu saja?" tanyaku nakal.
"Hatiku, itu grand prize-nya."
"Jadi selama ini kamu belum memberi hatimu?"
"Belum semuanya." Dia tertawa menang. Tapi aku senang karena akan kumenangkan hatinya.
"Dhi, Mas sayang Dhi."
Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin, dan…perang dengan yayang!

Baca Selengkapnya...!

Bengkel Karya SMART

Rabu, 08 Oktober 2008
Salam, Sobat penulis semua. Apa kabar? Dear. Kali ini sahabati kita, Maramita elfani, mengajak kita untuk kembali merenung. Apakah segala tindak-tanduk kita, telah didasarkan pada niat yang benar. Oleh karena Allah kah? Uang kah? Perhatian kah? Cinta kah? Prestise kah? Atau... apa? Mari kita simak bersama!

Sulit mendeteksi "Lillah"
Oleh: Maramita Elfani

Ah, apa itu Lillahita’ala???
Karena Allah?
Hanya untuk Allah?
Hemm, mungkin saja seperti itu.

Bukan hal yang sulit untuk mengatakan, “aku melakukan semua ini lillahita’ala”, “aku beribadah lillahita’ala”, “aku beramal lillahita’ala”. Bahkan, “aku mencintaimu lillah”. Ah, bagiku terlalu mudah untuk sekedar mengeluarkan kata-kata itu dari mulut manusia.

Seandainya kata-kata itu bisa dijual. Mungkin saja akan ada berjuta-juta orang yang akan membelinya. Tidak menutup kemungkinan para manusia itu akan menumpuknya sebagai stok untuk di jadikan simbol dalam mengiringi segala tingkah lakunya.

Aku tidak yakin “lillah” itu banyak termiliki oleh makhluk yang bernama manusia. Terlalu banyak hal dalam sesuatu. “Lillah” dan “tendensi” itu berbanding begitu tipis. Banyak orang yang mengecoh dan terkecoh dengannya. Yah, sekali lagi hanya simbol. Dan itu semua bullshit!.
Teramat sulit melakukan sesuatu hanya untuk-Nya. SANGAT!!!

Banyak tedensi yang berdiri tegak dengan kemilauan cahaya fananya. Dan sayangnya, sering kita terlelap dengannya, tak sadar!

Hanya kalangan elitis --di hadapan-Nya-- lah yang mampu melakukannya. Dan sekali lagi, sangat sulit terdeteksi. Orang-orang tertentu, pilihan, dan hamba ideal yang di inginkan-Nya lah yang mungkin bisa sampai pada tahap itu.

Barometer “Lillah”, bukanlah ikhlas dhohiri yang hanya terlacak via asumsi mata yang melihatnya. Tidak menutup kemungkinan memang, namun ibarat data, validitasnya perlu di pertanyakan. Bukankah don’t judge anything by the cover? Kecantikan cover bisa direkayasa oleh layouternya. Dan mungkin itulah yang sering kita lakukan dalam lelap kita. Tanpa ada khudlur dengannya, namun sebaliknya, dalam kondisi yang futhur.

Lillah, perlu dzauq. Lillah perlu ikhlas internal. Lillah perlu khudur. Lillah tak kenal tendensi, obsesi apalagi ambisi. Lillah hanya bisa di ketahui oleh dua pihak, dia dan Dia.

Mungkin saja dalam lelapku aku mengatakan, “Aku ingin bershadaqah lillah”. Yap, mungkin saja seorang aku benar-benar lillah. Tapi, tidak menutup kemungkinan seorang aku sedang lupa begitu saja dengan konsekuensi yang di harapkan oleh nuraniku. Dengan mencoba untuk tidak menyadari bahwa aku memang menginginkan sebuah pujian. Atau mungkin saja balasan dari manusia yang lain. Atau bahkan demi sebuah nama baik. Atau bahkan surga. Hmm…lalu itukah lillah?

Atau bahkan saat seseorang mengatakan “Aku mencintaimu lillah”. apa itu?
Yakin cinta itu lillah? Sebentar, tak perlu sebuah jawaban sepertinya. Untuk satu statemen ini, agaknya perlu seribu pertanyaan untuk mengambil sebuah kesimpulan.

Lalu atas dasar apa seseorang mencintai?

Menginginkan?

Ambisi?

Kepentingan?

Nafsu?

Prestise?

Atau apa?

Bahkan dengan seorang teman. Misalnya saja, seorang aku mencintai seorang sahabat. Bukan hal yang sulit untuk mengatakan semua itu hanya untuk-Nya. Hanya saja, terkadang seorang aku lupa atas sebuah kepentingan. Mungkin aku menyukainya karena dia pandai, ramah dan baik bagi seorang aku. Dengan sahabat itu, dia bisa melakukan apa yang dia inginkan. Sahabat itu mampu mendukung seorang aku untuk mencapai idealismenya. Atau bahkan seorang aku hanya merasa lebih nyaman bersamanya. Tidak ingatkah bahwa semua itu masih berbalut warna putihnya sebuah kepentingan?
Ah…lalu itukah lillah?

Aku tak ingin menodai kata itu. Lillah adalah lillah.
Tak ada kata yang patut untuk mendeskripsikannya. Terlalu suci dan sakral.

Lillah tak mengenal hijab antara dia dan Dia.

Tak ada tendensi apapun…

Yah hanya Lillah

Dan itu sangat SULIT

Wallahua’lam

Akupun tak tahu bagaimana cara melakukannya

Rabbi, tunjuki kami
Hanya jangan keluarkan kami dari koridormu
Bantu kami mencintai-Mu
Bukankah cintaMu kepada kami lebih besar dari pada cinta kita untuk-Mu?
Rabbi…

Maafkan kami

El_Funny
0400808 =>02:45
Baca Selengkapnya...!

Bengkel Karya SMART

Kamis, 25 September 2008
Ksatria Greystone [Bag. 2]

Intrik di Menara Jingga
Oleh: Abid Abdul Mun'im

Dihempaskannya meja saji dihadapannya, pemimpin klan Subterranean Termite berbadan kekar itu murka bukan kepalang. Kepala bulatnya seperti helm para Globullar[1] menanduk-nanduk apa saja dalam jangkauannya. Sekarang pandangannya tertuju pada Bellickosus. Penglima yang membawahi duaratus ribu Elite Nasute[2] itu mundur selangkah, tersenyum kecut. Sambil menelan ludah ia bermaksud menjelaskan keadaan dan situasi peperangan, namun sang tuan lebih dulu memotong kalimatnya.

“Akupun membaca berita!” Potong sang pemimpin bernada berang. “Aku sama sekali tak butuh laporan kondisi pasukanmu atau kerugian pihak musuh. Aku hanya menginginkan hasil kemenangan, titik!”

“Siap, Lord Nassutz!” jawabnya tegas.
Bentakan Nassutz Termitius kepada jenderal favoritnya membuat seisi arena koloseum mendadak sunyi, erangan para gladiator yang sedari tadi bergumul itu terhenti. Hanya dentingan gelas-gelas pelayan yang gemetaran memegang talam berani ‘protes’ pada sang tuan.

Ia memang berhak geram, keseriusannya menonton gulat para Stag Beetles[3] terganggu dengan kedatangan berita tidak menyenangkan, kekalahan telak di pertempuran memperebutkan kota Chameleon Base. Padahal yang didambakannya saat ini adalah kalimat ‘mission accomplished’ terucap dari mulut sang jenderal. Kota yang wajib ada ditangannya sebelum berakhir musim gugur ini sudah lama tercatat dalam agenda rahasianya. Sebuah misi terselubung dibalik rencana pendudukan yang para penasehat militernya termasuk perdana menteri saja tidak mengetahuinya kecuali putera mahkota. Hanya di tangan kedua sahabat inilah rahasia besar yang masih tetap menjadi misteri itu tersimpan rapi.
Untuk kali kedua kota garnisun tentara Red Ants itu gagal ditaklukkan meski telah dikirim bala bantuan brigade defensif Phragmotican[4] untuk menangkis unit-unit Odontomasus[5] yang terkenal agresif, tetap saja pasukan super elit tersebut tak berkutik menahan serangan balik para pembela kota. Dengan situasi yang nyaris serupa, kekalahan karena masalah logistik, sebuah perkara klasik sekaligus krusial di dunia kemiliteran.

“Segera adakan rapat darurat. Utus kurir keseluruh sentral komando, panggil semua panglima angkatan bersenjata!” Perintahnya.

Ampiteater pribadi panglima tertinggi itu segera dikosongkan. Sebelum mega di ufuk barat menghilang seluruh komandan armada tempur dari penjuru negeri telah berkumpul. Tidak mudah mengundang jenderal yang bertugas di wilayah pada jarak beberapa hari perjalanan darat hanya dalam waktu yang singkat. Para perwira tinggi itu dapat tiba tepat waktu dengan mengendarai sejenis belalang gurun dengan daya jelajah yang super cepat, Desert Locust[6]. Emperium raksasa ini tentu membutuhkan efesiensi waktu dalam tiap denyut nadi sistem administrasi negara, selain dipimpin oleh kepala pemerintahan tegas dan otoritarian seperti Lord Nassutz.

Derap langkah pasukan Globullar mengawal sebuah tandu bergema memasuki Ruang pertemuan. keluar dari balik tirai Ratu Rhinoa Elithrya diiringi barisan pelayannya. Ratu bangsa rayap itu berkenan hadir dalam rapat darurat untuk menyampaikan pandangannya mengenai situasi terakhir pasca ‘Autumn Operation’, sandi yang digunakan dalam agresi pembebasan Chameleon Base. Dalam dunia serangga, peran seekor ratu amat berpengaruh terhadap arah dan pola kebijakan politik sebuah koloni. Ratu rayap bukanlah pengecualian, setiap kata dalam ucapannya merupakan hukum negara, setingkat dengan undang-undang yang dipegang oleh Majelis Agung. Hirarki dan kasta, sifat anthroposentris[7] dalam kehidupan koloni ini tergambarkan secara apik, bak simfoni interaksi masing-masing individu memainkan perannya.
Kasta ksatria seperti Globullar, Nasute dan sejenisnya tidak mampu bertahan hidup tanpa dukungan rayap-rayap pekerja yang melayani kebutuhan logistik. Bukan suatu yang luar biasa jika sebuah pasukan besar dapat kehilangan moral bertempur sehingga dapat dilumpuhkan secara mudah hanya dengan dihancurkannya ransum makanan dan dpisahkan dari rayap pekerja trophallaxis[8]. Kelemahan mendasar ini benar-benar dimanfaatkan oleh jenderal-jenderal Red Ants yang sejak awal telah mempelajariya.

Kegagalan ‘operasi musim gugur’ yang dipimpin jenderal Bellickosus disebabkan kekeliruannya membaca langkah strategik yang dilakukan musuh. “Kelincahan gerak serdadu semut amat sulit diprediksi” kilahnya. “Setiap manuver menghasilkan efek serangan yang bervariasi dan mematikan. Terkadang tusukan-tusukan ke jantung pertahanan hanyalah pengalihan saja, sedangkan serangan yang sesungguhnya adalah menghancurkan divisi logistik yang jauh dibelakang garis pertempuran”.

Taktik brilian lainnya yang diterapkan anak buah Antius Alpha adalah kesuksesan penyergapan di lembah berpasir, di kaki bukit hutan Gramini. Insiden Lembah Pasir itu merupakan peristiwa memalukan dalam sejarah kejayaan klan Subterranean Termite yang membentang dari padang rumput ‘hutan’ Gramini hingga bibir rawa Dragonest sarang para naga terbang disebelah timur, sampai kota Karang Kecil yang dua tahun lalu masih milik kerajaan semut.

Rapat melelahkan itu berlangsung semalaman. Poin penting yang dihasilkan salah satunya adalah pengalihan tugas kepemimpinan Autumn Operation dari Jenderal Bellickosus kepada Pangeran Cubitermius Elithrya, putera mahkota kerajaan rayap. Walaupun pola kerajaan mereka menganut sistem Matrilineal, dimana kepala negara atau kerajaan dikuasai oleh garis keturunan dari pihak ibu, namun untuk kepala pemerintahan dan administrator tetap diserahkan kepada pihak yang paling berkompeten. Dalam hal ini pemerintahan tidak bersifat matriarkhi melainkan tunduk pada mekanisme Musyawarah Majelis Agung.

Poin lain membahas strategi baru yang diajukan Panglima tertinggi Autumn Operation III serta rencana aliansi dengan ‘gerombolan’ klan Wasp. Untung rugi kerjasama persekutuan ini berdampak sangat luas, terutama mempengaruhi pamor kerajaan. Reputasi mereka yang terkenal licik dan beringas, bermental pengecut dan tidak pernah mengenal istilah imbang atau adil dalam setiap perundingan. Sederhanya, Klan Wasp adalah Perampok! Rakyat akan menilai aliansi ini sebagai bukti lemahnya pemerintah dibawah kendali Lord Nassutz.

“Keputusan pemerintahan Nassutz sungguh tidak populer. Mengapa semakin tua ia malah menjadi semakin kekanak-kanakan, tingkahnya kini seperti larva!” Kritik seekor Fairyfly[9] disebuah bar menyeletuk, diikuti gelak tawa para pengunjung.

“Demi ratu rayap! Jika aliansi ini gagal, dan kita kembali berdamai dengan semut, aku akan mentraktir kalian semua yang ada disini” sumpah pengunjung yang lain diujung meja, seekor Pseudergate[10].

Bagaimanapun, strategi telah disusun, pucuk pimpinan sudah ditunjuk. Hari ini Mound Dome dipenuhi ratusan ribu tentara rayap, mulai dari infantri gerak cepat Elite Nasute sebagai garda terdepan, pasukan ‘beladiri’ Phragmotican, hingga Globullar yang ditugasi mengawal divisi logistik, serta brigade tempur elit super rahasia, Dimorvicon. klan Subterranean Termite sedang bersiap memobilisasi seluruh kekuatannya. Perang besar segera dimulai.

***

Anthill, julukan untuk semua kota para semut lembah. Sebuah kota tentara berdiri diantara rimbunan rumpun lili. Didepan gerbangya membentang luas padang rumput Gramini, kuning keemasan diterpa matahari sore musim gugur, bagaikan bulu rubah melambai tertiup angin utara yang membekukan. Para pekerja konstruksi klan Red Ants terlihat kelelahan memperbaiki dinding-dinding benteng. Beberapa menara berwarna jingga tempat mengintai musuh yang seakan baru kemarin menjulang megah, kini hanya berbentuk puing-puing. Kenyamanan penduduknya telah lama terusik akibat perang brutal, menyisakan kepedihan ditiap sudut kota.
Kota yang menjadi incaran Lord Nassutz ini seperti tidak pernah tidur. Kekhawatiran atas serangan susulan menjadi cambuk penyemangat untuk mengembalikan kebanggaan yang dulu pernah berjaya. Siang malam aktivitas semut pekerja terus berjalan. Dipusatkan pada renovasi benteng disekeliling kota, pembangunan kembali itu membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Ribuan semut pekerja dikerahkan, arsitek-arsitek dari klan Weaver Ants[11] didatangkan, belum lagi kumbang-kumbang bulldozer yang diterbangkan dari hutan pinus Greystone. Agaknya Antius Alpha menyadari betul arti penting mempertahankan salah satu kota satelitnya ini.

Chameleon Base, dahulu merupakan Bivouac[12] atau tenda peristirahatan sementara para pedagang antar klan serangga, kemudian berkembang menjadi kota transit yang menghubungkan tiga kerajaan besar: Subterranean Termite, Red Ants, dan Fire Ants. Posisi strategis kota yang bersifat heterogen dengan sistem administrasi dikuasai serangga Myrmica[13] ini kini dihuni berbagai klan serangga mutualis seperti kutu daun, larva kupu-kupu, kepik, dan jangkrik. Mereka dikenal dengan sebutan Myrmecophilian[14], sahabat para semut. Myrmecophile, sekutu klan semut adalah mereka yang selalu bahu-membahu memajukan kota Chameleon Base. Para Aphid (kutu daun) misalnya, keahlian mereka sangat diperlukan dalam memproduksi honeydew[15] dari getah tumbuhan sekitar, sebagai sumber tenaga dan minuman kesehatan dimusim kemarau karena khasiatnya yang menyegarkan. Chameleon Base merupakan kota industri, penyuplai terbesar madu non lebah bagi kota Cathedria, ibukota kerajaan Subterranean Termite, musuh sekaligus sumber devisa. Cukup satu kata untuk menggambarkan situasi ini, ironik.
Tidak jelas mengapa kota ini disebut Chameleon Base. Tidak secuilpun tanda, bentuk maupun pola yang merefleksikannya dengan chameleon (bunglon). Bentuk luarnya hanyalah gundukan tanah setinggi tiga kaki (lebih kurang 1 meter), dikelilingi menara-menara tinggi dengan dinding ornamen jingga menandakan bahan bakunya berasal dari lapisan tanah dalam. Artinya terowongan-terowongan yang digali membentuk jaringan labirin itu mencapai beberapa meter kearah pusat bumi.

Langit cerah bertabur bintang, menyambut kadatangan malam yang dingin dibulan September. Jauh kearah matahari terbit terdapat bongkahan membentuk bola lonjong seperti buah labu yang kering dan menghitam menggantung di dahan pohon oak. Disanalah para Wasp si perampok berhura-hura menghabiskan jarahan mereka, mabuk sambil menari diatas hasil jerih payah serangga lain. Wasp adalah serangga predator yang amat kejam. Pekerjaan kotornya menculik larva-larva serangga untuk dijadikan pekerja paksa di tambang-tambang Mudpulp[16] atau dijual ke pasar budak.
Duduk di singgasananya ketua gerombolan Wasp, Dominicus Vespulius. Dialah yang membuat seluruh penghuni Greystone hidup dalam ketakutan yang mencekam. Kemasyhurannya di dunia kegelapan layak disejajarkan dengan saudara-saudaranya dari suku Braconid[17]. Serangga iblis yang mampu mengendalikan serangga lain dengan cara menyuntikkan telur-telurnya dalam tubuh hewan lain. ‘Mantra-mantra’ para penyihir ini kemudian mengontrol sistem syaraf, membuat serangga yang terjangkit kehilangan kesadaran seperti mayat berjalan, mereka menjadi zombi.

Mata ocelli[18] Dominicus Vespulius berkilap menginspeksi anak buahnya. Prajurit-prajurit fanatik dan loyal pada tuannya itu sibuk mempersiapkan peralatan-peralatan perang. sebagian terlihat sedang mengasah sengatnya, ada pula yang mencoba baju zirah yang baru didapatkannya, sementara kelompok lain bergerombol melingkari sebatang jamur untuk menghangatkan diri.
Seekor Wasp muncul tergesa-gesa kearah sang tiran, setelah mendapat izin ia mendekatkan kepalanya membisikkan sesuatu.

“Sempurna!” teriak sang pemimpin congkak penuh kepuasan. “Dengarlah prajurit-prajurit setiaku, malam ini kalian akan bergabung dengan legiun rayap, dan kita akan membantu mereka menaklukkan Chameleon Base. Persiapkan amunisimu, Runcingkan sengatmu, songsong peperangan di depanmu. Bersiaplah menuju pesta kemenangan! Hai Menara jingga, kami datang…!”
“Bravo Admiral Dominicus! Hidup klan Wasp!” sahut para prajurit penuh semangat.

Dengungan sayap-sayap wasp memekakkan telinga, menandai sepasukan besar skuadron tempur tengah bergerak. Laksana awan hitam penuh kutuk, gerombolan perampok itu terbang bergulung-gulung, merampas apa saja dalam jalur perlintasannya. Telur-telur serangga menjadi incaran mereka sebagai sumber energi, bahan bakar terbaik selama perjalanan.
Antius Alpha tidak akan memberikan kesempatan kepada para penyerang untuk kesekian kalinya. Mata-mata telah melaporkan bahwa ada indikasi keterlibatan klan Wasp pada penyerangan kali ini. Oleh karenanya melalui gubernur militer Chameleon Base ia telah menginstruksikan divisi artileri anti serangan udara, Brachinus[19] si kumbang pembom. Belum puas dengan pasukan artilerinya, Lord Antius juga melengkapinya dengan ‘amunisi’ Cochineal[20], jenis kutu yang tubuhnya dipenuhi serbuk berwarna merah.

Pasukan koalisi rayap dan wasp berkemah diluar kota, menutup semua akses masuk dan keluar. Ini adalah pengepungan! Meski Perang belum dimulai, namun kegelisahan dibenak prajurit-prajurit semut tergambar pada raut wajah mereka. Faham akan gelagat tak baik ini, Panglima tertinggi Brigade Pertahanan Kota, Gubernur Jenderal Maximus Formicus menenangkah hati para prajurit.
“Sekarang adalah hari yang besar. Setiap prajurit yang bergabung dalam misi pertahanan ini akan menjadi pahlawan dan akan dikenang sebagai pahlawan diseluruh lembah Greystone. Nama kalian akan tercatat dalam sejarah dan diagungkan oleh anak cucu kalian. Persiapkan dirimu, teguhkan hatimu, runcingkan sengat-sengatmu, tajamkan capit rahangmu. Ingatlah hari ini, sebab mulai hari ini kalian tidak bisa lagi mundur. Hari dimana takdir kota ini diserahkan kepadamu! Bangkitlah wahai pahlawan menara jingga!”

Serasa mendapat suntikan adrenalin, semangat prajurit semut kembali mengalir di pembuluh darahnya. Kepekaan sang jenderal sekali lagi teruji. Namun ia masih bimbang, sampai kapan prajurit-prajuritnya mampu menahan keberingasan tentara Nassutz yang begitu terobsesi pada kotanya? Jawaban yang tentunya hanya didapat setelah peperangan ini usai.
Sebuah grup utusan rahasia membuyarkan konsentrasinya menunggu untuk dipersilakan masuk. Mereka tidak mengenakan baju zirah elytra[21], mengisyaratkan mereka bukan dari kesatuan militer.

Sebuah gulungan kertas diberikan kepada sang Jenderal. Surat yang dibubuhi stempel pribadi Pemimpin Subterranean Termite, tercetak dari cincin Nassutz Termitius itu berbunyi:

“Dari Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Subterranean Termite
Jenderal Tertinggi Nassutz Termitius

Kepada Kepala Pemerintahan Chameleon Base

Gubernur Jenderal Maximus Formicus

Pasak kemah telah dihujamkan

serdadu musuh telah dibariskan
menara jingga yang diagungkan

hendak terbakar dan dilupakan
hajat samar ‘kan diterangkan

demi damai yang menenangkan
Jikalah tak bertepuk sebelah tangan

tinggalkan yang terbijak disisi tuan

Semoga kedamaian selalu menaungi lembah Greystone.”

Satu jam lamanya Jenderal Maximus Formicus termenung sambil sesekali memandangi surat tawaran yang diajukan pemimpin para rayap, surat yang disampaikan dengan gaya metafora itu bermakna sangat dalam dan amat menentukan nasib kota. Otaknya terus berputar, ia menyadari sebuah keputusan beresiko tinggi harus segera diambil. Akankah kedamaian kembali melingkupi Greystone jika ia menuruti tawaran ‘peta jalan damai’ ini? Ataukah kedamaian hanya bisa direngkuh dengan memukul mundur gabungan dua pasukan super masif tersebut dengan tangannya sendiri?
Maximus memanggil utusan tertua ke ruang pribadinya dan mempersilakan yang lain kembali. Kemudian tawaran musuh itu disampaikan sang utusan. Ia hanya manggut-manggut saja ketika utusan musuh itu menerangkan dimana posisi keberpihakan klan Subterranean Termite sebenarnya dalam pertarungan memperebutkan Chameleon Base ini. Semua argumentasi disampaikan, seluruh strategi dibeberkan, keputusan telah diambil.

Awalnya ia meragukan beberapa opsi yang diajukan Lord Nazzuts. Bagaimana mungkin ia dapat mempercayai musuh yang selama ini memerangi serta menginginkan kotanya? Dan ia tidak memiliki cukup waktu mendiskusikannya dengan jenderal tertinggi Antius Alpha. Tapi ia tahu bahwa Nassutz Termitius adalah pemimpin yang selalu memegang kata-katanya. Lagi pula dalam sejarah keseranggaan rayap merupakan serangga pemakan kayu yang defensif, tidak suka menyerang. Sebaliknya, klan Red Ants adalah semut karnivora yang bersifat agresif.
***

Perang terbuka dimulai, pasukan Nassute di sayap kanan bergerak marching mendekati gerbang kota dalam barisan rapat sambil memayungkan perisainya diatas kepala, diikuti satuan kecil tentara wasp terbang di atasnya membentuk formasi menyerang. Brigade bertahan melepaskan bom-bom Cochineal kearah pasukan darat yang sedang bergerak itu. Asap merah mengepul memenuhi medan perang. Secara tiba-tiba satuan super elit Dimorvicon muncul dari balik barisan rapat Nassute kemudian mendobrak gerbang utama kota Chameleon Base. Gerbang kota mulai retak. Belum ada reaksi balasan dari tentara semut yang mengawal gerbang.
Serangan berikutnya ‘jet-jet’ tempur wasp memberondong ke puncak menara-menara kota dengan sengat beracunnya, disambut dengan bombardir pasukan anti serangan udara Brachinus menyemburkan cairan panas ketubuh pasukan wasp. Korban dari kedua belah pihak berjatuhan. Dominicus segera mengirim pasukan bantuan. Serangan ini berhasil memukul brigade pertahanan di garis depan, sebuah menara rebah berantakan.

Di depan gerbang, Dimorvicon, tentara rayap bertubuh raksasa itu baru saja berhasil menjebol pintu utama. Dalam sekejap satu batalion Phragmotican berhamburan ke pusat kota. Seekor komandan rayap berteriak memerintahkan pasukan berhenti. Ia menyadari sesuatu yang tak lazim sedang terjadi. Jalanan sepi, blokade-blokade kosong, rumah-rumah dan pertokoan tertutup rapat. Benarkah kota kebanggaan para semut telah dikhianati oleh penduduknya sendiri? Pangeran Cubitermius Elithrya turun dari kereta perangnya tersenyum puas penuh kemenangan. “Akhirnya, satu langkah lagi menuju kedamaian” bisiknya.


[1] Globullar adalah kata rekaan dari istilah globular, yang merupakan jenis rayap parajurit berkepala besar (phragmotic), bertugas memblok pintu sarang koloni menggunakan kepalanya untuk menghambat serangan penyusup.

[2] Nasute adalah jenis rayap prajurit yang memiliki nasus (hidung bersengat) beracun.

[3] Stag beetle (Lucanus cervus) adalah sejenis kumbang tanduk. Saat musim kawin mereka memperebutkan betina dengan berkelahi dan sering terlihat seperti atlet yang sedang bergulat.

[4] Phragmotican diambil dari kata phragmotic adalah jenis rayap prajurit yang memiliki capit (mandible) yang berukuran besar.

[5] Odontomasus atau Odontomachus adalah genus dari semut karnivora (pemakan daging).

[6] Desert Locust (Schistocerca gregaria) adalah sejenis belalang gurun yang hidup di semenanjung afrika utara bagian timur dan menjadi hama bagi petani.

[7] Anthroposentris, memiliki cara hidup seperti lingkungan manusia.

[8] Trophallaxis adalah perilaku transfer makanan pada serangga dari mulut ke mulut atau dari anus ke mulut.

[9] Fairyfly atau lalat peri adalah jenis tawon terkecil.

[10] Pseudergate adalah rayap bersayap (laron) yang gagal dalam metamorfosis, sehingga sisa hidupnya hanya berfungsi sebagai rayap pekerja.

[11] Weaver Ants (Oecophylla smaragdina), adalah jenis hewan yang hidup di pohon (Arboreal) dikenal dengan sebutan semut rangrang.

[12] Bivouac adalah sarang sementara sebagai ‘tenda’ yang dipakai dalam migrasi serangga sosial.

[13] Myrmica, genus dari semut merah.

[14] Istilah Myrmecophilian diambil dari kata myrmecophile yaitu organisme yang berasosiasi dengan semut. Secara literal berarti ant-loving, merefer pada hubungan mutualis (simbiosis mutualisme) dengan semut.

[15] honeydew merupakan madu yang dihasilkan oleh kutu daun ketika menyerap getah tumbuhan, madu yang keluar dari anusnya kemudian dimanfaatkan oleh semut.

[16] Mudpulp adalah tanah lumpur atau bubur kertas yang digunakan tawon (wasp) untuk membangun sarang

[17] Braconid, sejenis tawon bersifat parasit bagi serangga terutama ulat dan kutu daun.

[18] Ocelli adalah mata sederhana yang dimiliki serangga seperti tawon dan laba-laba. Dapat merasakan cahaya tetapi tidak bisa mengetahui arahnya.

[19] Brachinus, kumbang tanah yang mampu mengeluarkan dua cairan (hidrokinon dan hidrogen peroksida) yang ketika bercampur menghasilkan senyawa yang sangat panas.

[20] kutu daun cochineal adalah serangga yang selama hidupnya hanya menempel pada sesuatu dan tidak bergerak sama sekali (sessile). Cochineal menghasilkan tepung pewarna yang disebut cochineal, berwarna merah tua (crimson).

[21] Elytra atau elytron, sayap keras pada serangga yang melindungi sayap transparan, terbuat dari zat kitin dan sejatinya merupakan kerangka luar (eksoskeleton)
Baca Selengkapnya...!

Bengkel Karya SMART

"Kamu percaya jodoh Fahri," tanya Maria. "Iyah, tiap orang memiliki...," Fahri urung melanjutkan kata-katanya. Maria langsung memotong, "Jodohnya masing-masing, itu yang selalu kamu bilang." (maaf,hanya copy paste dari AAC The Movie). Ulasan di bawah ini merupakan karya sobat Pena-SMART. Pasti menarik, tentang takdir dan jodoh. Sobat penulis semua, silakan tinggalkan pesan dan komentarnya.

Kenapa Harus Protes Dengan Takdir?
Oleh: Maramita Elfani

Seringkali aku mendengar sebuah statemen, “manusia tidak bisa hanya mengandalkan skenario takdir Tuhan, tanpa melakukan apa-apa.” Sebagai interpretasi aplikatif dari ayat Innallaha la yughayyiru ma bi qaumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim.

Yah, bahkan itulah yang sering aku lakukan, dulu. Aku tidak memungkiri Allah SWT tidak akan memberikan sesuatu secara cuma-cuma kepada kami, para makhluknya. Kecuali makhluk-makhluk terpilihnya, dan tentu saja atas kehendak-Nya. Toh, Dia berhak melakukan apapun.

Namun, sedikit yang buatku kecewa. Seringkali ayat itu di jadikan sebagai dalih legalisasi perbuatan manusia, dan tidak menutup kemungkinan termasuk aku di dalamnya. Perbuatan yang sebenarnya bukan termasuk dalam kemasan hatta yughayyiru ma bi anfusihim. Rangkaian cerita yang dirancang oleh makhluk Tuhan yang bernama nafsu, yang selalu mengikuti kemana manusia melangkah kerap menelusup di sela-sela perbuatan ”úsaha” versi manusia.

Secara umum, yang termasuk kedalam kategori takdir yang tidak bisa di rubah adalah yang berkaitan dengan rezeki, jodoh dan kematian. Kematian, mungkin tidak akan ada orang yang akan menyangkal, bahwa kematian itu rahasia Ilahi. Tidak akan ada yang mencoba beralasan atau sekedar menawarkan usaha untuk mempercepat atau memperlambatnya. Ya, kematian adalah kematian.

Berbeda dengan rezeki. Meski semua meyakini bahwa rezeki sudah di atur oleh-nya. Alokasi rezeki yang di tetapkan Tuhan sudah tercatat di lauh al-makhfudz. Namun ayat di atas tetap saja masih di posisikan di barisan pertama pintu ijtihad manusia. Semua harus ada usaha. Toh, tidak mungkin kan kita mendapat uang secara langsung (jatuh dari langit misalkan) dari Allah SWT. Okelah, mungkin usaha versi manusia kali ini bisa di terima. Meski pada akhirnya, ketika manusia sudah pada tahap putus asa dan pasrah, lagi-lagi semua akan bermuara pada takdir.

Lalu bagaimana dengan jodoh?

Sejatinya, akupun selalu bingung. Sebenarnya “usaha” yang bagaimana yang di inginkan Tuhan dari makhluk-Nya yang bernama manusia?

Mungkin kekuatan, “jodoh adalah takdir” lebih kuat mengetengahkan kuasa Tuhan di banding “rezeki sudah ada yang mengatur”.

Jika ada yang mengatakan bahwa kita harus berusaha untuk bisa mendapatkan rezeki dari Allah SWT, sebab Dia begitu menyukai sebuah proses yang dilakukan oleh hamba-Nya, aku begitu setuju, bahkan sangat setuju.

Hanya saja aku selalu bingung saat orang mengatakan. Jodoh itu sudah di tetapkan oleh Allah SWT, namun selalu masih di akhiri dengan “Tapi kita juga harus berusaha”.

Selalu membuat jidatku mengkerut tiap kali mendengarnya. Sejujurnya, aku tak habis pikir, usaha yang bagaimana yang di maksud?

Okelah, katakan saja “iya” misalnya.

Lalu sekali lagi, apa bentuk usaha itu?

Pacaran kah? Selalu berusaha berpenampilan menarik kah? Masuk pada banyak komunitas kah? Melakukan proses pancarian dengan dua alat; mata dan nafsu kah? Atau pasang iklan? Wew…

Aku sendiri tak tahu jawabnya yang mana.
Yang pasti aku selalu bingung.

Sampai saat ini yang menurutku masih sangat logis dan bisa di pertanggung jawabkan adalah, jika kita berusaha ingin mendapatkan jodoh yang baik, hanya “perbaiki diri” saja dulu. Bukankah Allah pun telah berjanji kepada kita, manusia. Siapapun yang baik akan mendapatkan pasangan yang baik pula. Berkaca pada diri sendiri, jika ingin tau jodoh kita seperti apa dan bagaimana.

Ada seorang teman mengatakan padaku. “Jika saat ini aku sedang bersenang-senang dengan lawan jenisku di luar, tidak menutup kemungkinan jodohku kelak, juga sedang melakukan hal yang sama dengan lawan jenisnya sekarang. Atau sebaliknya, mungkin saja jika saat ini aku sedang serius belajar dan bercinta dengan-Nya, maka tidak menutup kemungkinan saat ini juga jodohku pun melakukannya“.

Yap, kalimat-kalimat itu begitu lekat di otakku. Terimakasih sahabatku.

Entahlah, bagaimana seharusnya…
Aku juga tak tahu…

Yang pasti, “usaha” versi Tuhan sulit untuk di deskripsikan. Manusia hanya bisa meraba. Seringkali sebuah kebenaran yang di yakini manusia adalah kesalahan bagi Tuhan.

Hanya yakini, SEMUA DARI ALLAH
Tak perlu protes dengan takdir-Nya

Kau tak akan puas jika Allah memberikan apapun yang kau minta. Yakinilah, semua yang ada padamu, adalah pemberian Tuhan atas butuhmu. Yah, karena Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita minta.

El_Funny
Kairo, 240808
15:08

Baca Selengkapnya...!

Salam Cinta Teh Lela

Minggu, 21 September 2008
Tulisan ini diberi izin posting, oleh Teh Lela, el-Qolam-SMART, beberapa jam sebelum pulang ke tanah air. Dengan nada berat, penulis mengungkapkan salam Cintanya buat sobat-sobat SMART. "Duh, saya kok cuma bisa gabung bentar aja ya, sama temen-temen SMART," ungkapnya saat dihubungi lewat telefon. Silakan dikomentari.

Catatan Ringan Seorang Sahabat
Oleh: Lela Nurlela

Sebuah cacatan ringan dari seorang sahabat, hanya ingin saling berbagi.. tentunya dalam rangka syi’ar “tawashou bilhaqqi watashou bishoshobri..”

Dulu, ketika kita berani melangkahkan kaki ke negeri seribu menara, berani bertempur ke medan perjuangan yang mungkin sebenarnya kita belum tahu pasti situasi dan rintangan yang harus dihadapi nanti. Tapi subhanallah! Dengan berbekal azzam yang kuat tak lain hanya ingin menimba ilmu sebanyak-banyaknya di negeri para nabi juga dengan doa restu orang tua bahkan sanak saudara dan tetangga, alhamdulillah semua itu cukup menguatkan hati kita untuk siap bertempur, siap berkorban demi cita-cita yang agung ini. Dan Allah lah yang Maha Berkehendak, sehingga dengan karuniaNya kita benar-benar bisa menghirup debu sahara kleopatra, kita bisa duduk di bangku universitas tertua di dunia, bahkan syukur tiada tara kita diberi kesempatan untuk bisa tinggal di asrama duta bangsa lengkap dengan penerimaan ‘gaji tetap’ setiap bulan. ‘fabiayyi alairobbikuma tukadzdziban..?’

Namun sudah menjadi sunnah kehidupan, ketika kita diberi kemudahan dalam meniti sebuah jalan, dikaruniai berlimpah nikmat, pastilah di sana akan ada tantangan dan ujian. Karena setiap fase kehidupan masing-masing ada ujiannya. Layaknya kita di bangku sekolah, tentunya rumus matematika di kelas 4 SD berbeda dengan rumus matematika di kelas 5 atau 6 SD. Begitulah hidup, dengan bertambahnya umur maka cobaan akan terasa lebih nyata dan rumit. Terkadang ketika kita sedang dilanda banyak problem, ingin rasanya lari dari semua itu dan kembali menjadi anak ingusan yang tidak tahu apa itu masalah. Tidak! Jangan sekali-kali kita lari dari masalah. Masalah adalah hal yang lumrah, bukan untuk dihindari tapi untuk dihadapi. Sebenarnya ketika kita menghindar dari masalah, hakikatnya kita sedang membuat masalah baru. Jadi, apapun masalah hidup, pahit-manis merupakan bumbu yang tanpa itu hidup akan terasa hambar. Justru dengan adanya masalah, kita akan teruji dan akan terseleksi apakah kita termasuk orang yang mampu berlapang dada dan bisa mengambil hal positif ataukah sebaliknya. Begitulah manhaj yang diajarkan al-Quran, jika Allah sayang kepada seorang hamba, maka Dia akan menguji hamba tersebut tidak lain hanya untuk menaikkan derajatnya dunia akhirat, layaknya seorang pelajar jika lulus ujian di kelas 4 maka akan naik ke kelas yang lebih tinggi, kelas 5. Karena mukmin sejati hanya mempunyai dua sikap dalam hidupnya, syukur tatkala diberi nikmat dan sabar ketika tertimpa musibah.

Kembali ke kondisi real setelah kita sampai di negeri ‘ibu dunia’, setelah beberapa waktu kita beradaptasi dan mengenal lebih dekat tanah air kita yang kedua ini. Yup! Ternyata di sana ada banyak hal yang membuat hati kita sakit, terlampau kecewa. Mesir yang merupakan negeri pusat peradaban, yang di sana lahir para ilmuan besar, al-Azhar yang menjadi kebanggaan.. semua itu tidak tergambar jelas oleh mata telanjang. Yang kita temukan hanyalah kondisi masyarakat yang sebagiannya ‘tidak beradab’, masih banyak rakyatnya yang buta huruf, serta system administriasi maupun pembelajaran di al-Azhar sama sekali jauh tertinggal dari tuntutan zaman yang serba modern dan canggih sehingga mengakibatkan semua urusan tidaklah efektik mengingat santri al-Azhar adalah pelajar seluruh dunia. Ketika kita mau merenung sebentar, mempelajari semua yang kita alami dan rasakan. Kondisi yang ironis akan banyak kita temukan dalam setiap lini kehidupan. Jangan jauh-jauh kita mencari contoh, tanah air kita tercinta yang setelah dipelajari secara geografis merupakan negeri terkaya sedunia.

Namun sebagaimana kita ketahui, kita justru sama sekali tidak merasa kalau kita diberi berlimpah nikmat. Kita biarkan semua kekayaan kita dicuri oleh tangan-tangan kotor dan kita terlalu terlena dengan semua yang ada. Kita punya banyak tanah subur, tapi ternyata makanan pokok kita malah import dari luar negeri, ironis bukan? Begitu pun setelah kita tahu tanah Mesir, ternyata banyak hal yang kita temukan merupakan ironis dari keadaan yang seharusnya. Mesir adalah gudang ilmu, di sana banyak para ulama bahkan yang bergelar doktorpun tidak terhitung jumlahnya. Di setiap masjid besar diadakan pengajian rutin kitab-kitab turats yang langsung diajarkan oleh pakarnya dan tidak dipungut biaya apapun. Belum lagi harga kitab yang relative murah bahkan pameran buku internasionalpun adanya di negara Mesir. Namun ternyata realita yang ada menggambarkan kondisi yang justru sebaliknya. Sebagian rakyat mesir masih banyak yang buta huruf dan tidak mengerti ilmu-ilmu islam, padahal al-Azhar adalah lembaga pendidikan tanpa memungut biaya dan kalaupun ada pembayaran untuk administrasi sangatlah relatif murah dibanding sekolah-sekolah yang lain.

Dengan menyandang predikat ‘Mesir adalah ibu peradaban’, sebagian rakyat Mesir justru malah terlena dengan masa kejayaan di zaman dahulu kala. Tempat-tempat bersejarah dan museum-museum peninggalan masa fir’aun menjadi devisa terbesar negara karena setiap harinya tidak pernah kosong dari kunjungan para turis asing. Rasa bangga dan fanatik yang berlebihan menjadikan mereka sulit menerima perubahan dari luar, kecuali mungkin segelintir orang yang pernah pengecap study di luar negeri, gaya hidup mereka lebih moderat dan pikiran mereka lebih terbuka. Itulah sekelumit gambaran kondisi masyarakat Mesir yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan keadaan di negara kita, karena intinya hanya satu, kita sama-sama telah terlena dengan anugerah serta limpahan nikmat yang dicurahkan kepada kita. Kita belum bisa menyukuri semua karunia itu, maka wajar saja akibatnya adalah kerusakan yang terjadi di atas muka bumi ini.

Sedikit renungan atas semua yang terjadi, mungkin di atas merupakan gambaran secara global atau dalam ruang lingkup yang luas, kenegaraan. Dalam kehidupan sehari-haripun kondisi ironis sering kita lihat bahkan kita alami sendiri. Contoh kecil, seorang pelajar yang kaya raya, memiliki banyak fasilitas belajar kebanyakan mereka justru malah tidak bisa memanfaatkan apa yang mereka punya. Lain halnya pelajar yang dari golongan ekonomi standar, dia akan lebih menghargai sebuah kesuksesan, dia akan berusaha menjadi orang besar untuk bisa merasakan fasilitas hidup yang lebih layak. Ya, begitulah kenyataannya semoga saja kita termasuk orang-orang yang mampu memanfaatkan segala bentuk nikmat yang diberikan, menjadi hamba-hambaNya yang tahu betul cara menyukuri semua anugerahNya. Amin.

Berangkat dari pengalaman penulis yang Allah taqdirkan telah lulus dari al-Azhar, walaupun penulis sendiri bukanlah sosok mahasiswi yang patut dibaggakan, namun setidaknya dia telah melewati empat fase perjuangan belajar di universitas ‘kolot’ ini. Menurut penulis hanya ada tiga point yang menjadi kunci lolos dari gerbang al-Azhar ini, pertama niat, alias azzam yang kuat dalam menelaah ilmu khususnya muqarrar. Kedua, mengetahui betul gaya belajar yang paling efektif, karena setiap orang memiliki kecenderungan cara belajar masing-masing. Ketiga, doa dari semua pihak. Jika ketiga hal tersebut sudah dapat dipahami dan dilaksanakan dengan benar, maka insyaAllah dan yakinlah Allah tidak pernah menyia-nyiakan usaha hambaNya.


Ok, sekarang kita beranjak ke satu hal yang paling seru untuk dibicarakan, dia ga pernah musnah ditelan masa bahkan selalu up-date untuk dijadikan topik pembicaraan. What’s that? Apalagi klo bukan ‘CINTA’! Haha.. diakui ato ga, si cinta ini memang punya porsi tersendiri dalam episode kehidupan, so pasti dunk! Tanpa cinta, bisa jadi kita ini tidak dilahirkan, he

Menyoal tentang cinta dalam episode kemahasiswaan merupakan hal yang biasa, tidak ada yang perlu diherankan. Eiit..! tapi jangan salah tafsir ya... hal yang biasa bukan berarti kita boleh-boleh aja mengobral cinta (emangnya di pasar ikan apa, pake diobral segala!)hee Yo i, cinta memang hal biasa, wajar, normal dan seabreg kata dalam artian yang sama, apalagi kita emang lagi masa-masanya mencari cinta neh. Wuih, berapa hari ya jatah mencari cinta?hehe

Ternyata ya, setelah melalui observasi yang insyaAllah valid deh.. kita tuh harus hati-hati juga loh sama si cinta ini. Emang kenapa kok rasa cinta mesti pake hati-hati segala, dia kan normal? Emang! selain normal juga sebenarnya dia tuh suci, ini yang harus kita pertahankan, kesucian cinta! Jangan sekali-kali kita jadikan dia sebegai boomerang! Kan kasian.. Misalkan ya, ada kasus mahasiswa/i yang keliatannya ogah-ogahan belajar, tapi sebaliknya klo diajak ‘ngedate’ mah semangat 45! Ya iya lah, daripada pusing bolak-balikin kertas untuk dihafal lebih menarik ngopi darat ma doi.. Trus abis itu ternyata pas pengumuman kelulusan dia ga naik tingkat tuh.. ya wajar aja kali bung, wong kapan nyediain waktu untuk konsen baca buku klo kerjaannya cuma konsen pada si doi mulu, ya ga?! Akhir-akhirnya mereka nyesel deh dan bisa jadi mereka malah menyalahkan cinta, itu yang bikin nasib si cinta jadi kasian.. kambing ijo deh!hee Padahal kan rasa cinta ini sungguh agung dan suci, tapi karena dia dipupuk belum pada saatnya, ya jadi gitu deh.. tragis!!

Yup! Berarti kita dah punya kesimpulan dunk.. Klo ingin mempertahankan keluhuran nilai cinta yang suci maka jalannya cuma atu, dijaga tu cinta..! jangan sembarangan cepat-cepat diumbar.. Biar nanti ketika saatnya tiba, dia akan menjelma menjadi permata yang kilaunya melebihi sinar matahari (kayak gimana tuh? Emang ada ya?)hehe Jadi, sing sabar ya! Dan kalo memang sekarang udah siap (lahir batin tentunya), jangan ragu! Segera pupuk tu cinta di lahan yang halal, yang pake mahar!  Klo belum siap, ya jangan coba-coba atuh! Karena cinta bukan bahan percobaan.. Coba deh puasa wija, dijamin Allah akan memudahkan. Okeh!
Baca Selengkapnya...!

Bengkel Karya SMART

Jumat, 19 September 2008
Karya di bawah ini adalah tulisan salah seorang peserta SMART. Tulisan ini kami posting di sini agar dikoreksi dan dikomentari oleh kawan-kawan semua anggota SMART. Untuk itu kami hanya memasukkan tulisan ini apa adanya (tanpa edit) sebagaimana file yang kami terima dari penulis. So, silahkan bagi kawan-kawan semua untuk membengkelnya...!

Pagi Yang Mengharankan
By : Didi suardi

pagi yang sunyi, sang surya keluar dari balik selimut awan, sinar mataharinya yang khas begitu menyentuh lapisan permukaan kulit, ku lirikkan bola mataku ke arah jam dinding yang menempel di tembok samping, ternyata jam sudah menujukan pukul 07:00 pagi.

teng...teng..brug!
Suara-suara itu terdengar kembali di balik pintu tua yang sudah lama tidak di huni, letaknya pas berada didepan platku, aku merasa ada keanehan di plat itu, setiap aku mendengarnya bulu romaku berdiri, tapi aku tak pernah menghiraukanya.

"mungkin itu hanya suara benda jatuh saja" gundamku dalam hati

Aku pun meneruskan aktifitasku, dengan segelas susu panas dan sebotol air putih yang senagja ku siapakan untuk menemani pagiku.


Pagi hari adalah waktu yang sangat cocok bagiku tuk sekedar membaca, menulis maupun mengulang hapalan. disamping suasananya yang tenang, tentram juga sang surya mulai menampakan wujud sinarnya menerangi jagat raya, yang kadang dengan ke elokan sinarnya mampu memberikan imajinasi-imajinasi baru.

Tak terasa waktu sudah menujukan pukul 12:03 siang. aku baru ingat klo aku punya janji sama seseorang, ku langkah kan kaki tuk segera bersiap-siap.

Lagi-lagi terjadi keanehan saat aku keluar dari platku, pintu yang berhadapan dengan pintu platku, tamapaknya sedikit terbuka, aku benar-benar semakin merinding dibuatnya.

"buakannya plet ini kosong, kenapa pintunya terbuaka", "bagaimana bisa pintunya terbuka sendiri, pintu ini kan sudah lama ditutup dan tak seorangpun dapat membukanya, sedangakan pemilik rumahnya pun kini tak tau dimana keberadaannya, tampaknya plat ini sudah lama tidak dihuni" bisiku dalam hati dengan penuh keheran diselain rasa keganjilan.

Aku tak mau berpikir panjang, yang sampei menghabiskan waktu terlalu lama, kukira ini hanya sugesti dan perasaanku saja yang terlalu mendramatisir keadaan, karena mungkin tadi malem aku dan teman-teman nonton film pocong sampei larut.

Ku langkahkan kaki menuju lantai bawah, maka sampailah di gerbang imarah, sesampainya di bawah ternayta gerbangnya dikunci dan aku lupa membawa kuncinya, maka dengan sedikit terpaksa aku harus mangambil kunci terlebih dahulu. saat ku menginjakan kaki pada deretan tangga paling akhir, dengan tak senagaja aku melihat seorang nenek tua berambut panjang, susunan rambutnya tidak teratur alias acak-acakan memasuki plet itu.

Kini yang merinding bukan hanya bulu ramaku, tapi seluruh bulu-bulu permukaan kulit tanggan dan kakiku ikut berdiri, aku memang termasuk orang yang penakut, sejak kecil aku selalu ikut bapak kemana iya pergi, bahkan ketika bapaku membersihakan rumah nenek yang sudah lama tidak dihuni, aku pun ikut bersamanya, walau hanya sekedar duduk menemaninya.

Waktu itu, aku kebelet ingin pipis, saat ku masuk kamar mandi, aku meliat sesosok wanita berpakaian serba putih, rambut yang tak terurus persis seperti gelandangan (maaf) dipinggir jalan yang sedang duduk di sopa tua. setapak demi setapak ku langkahkan kaki tuk menhampirinya, saat ku mendekat, ia pun memalingkan wajahnya, aku terkejut dan lari terbirit-terbirit.

"bapaaak!... bapaaak!..." aku berteriak

ku lihat bapakku sudah tidak ada ditempat, aku semakin ketakutan, aku berlari ke halaman, sambil berteriak " bapaaak! bapaaak! dimana? aku takut pak, aku takuuut, takut sekali.

ketika ku sampai di rumah tapi ternyata bapakku tidak, lalu ku betanya pada ibu.

"ibu bapak mana, bapak sudah pulang belum?"
"loh buakanya tadi sama Dido pergi ke rumah nenek" ibuku balik bertanya.
iya bu tadi sama dido, tapi...?"
tapi apa? ibuku pertanya denagn sedikit heran. "hmm tapi apa?"
tidak bu, tidak apa-apa?
ya sudah klo gitu, cuci kaki, cuci tangan, kemudian kita makan banreng-bareng, ibu selseseikan dulu jemurannya ya?
"iya bu"

saatku selesei mencuci, aku melihat bapakku sudah duduk di kursi meja makan.

kami pun makan bersama, bapaku meliriku kemudian bertanya " dido ada apa? ko makannya gak besemangat", "makanannya tidak enak ya?" ibuku menambahkan
"engga bu, engga pa" dido cuma lagi ga enak badan.

"pak, dido boleh bertanya sesuatu?"
"boleh, tentang apa?"
"euu... tentang, eu... rumah itu pak"
"emang ada pa dengan rumah itu" bapaku balik bertanya
"eu... tadi dido kan mau masuk kamar mandi, dido liat ada seseorang di kamar sebelah, terus ya dido masuk, pas dido liat, ada seorang perempuan tua, wajahnya sudah rusak sereeem sekali, sampei dido lari terbirit"

"oh...pantesan tadi bapak liat dido lari sambil berteriak, bapak waktu itu lagi beli paku ke warung, pas bapak liat dido sudah lari jauh" jelas bapakku

"iya rumah itu sudah lama tidak dihuni, kurang lebih hampir lima tahun rumah itu kosaong, kemudian nenek mewariskannya kepada paman, tapi paman menolak dia lebih memilih sepetak tanah di lorong bukit sana, katanya mau tanamin singkong, dengan sedikit berat hati bapakpun mensetujuinya, nah sekarang bapak pingin rumah itu ada yang menempati"

"terus sosok permepuan tua itu siapa pak" aku bertanya kembali

bapaku menjawab "oh wanita itu ibu hamidah tetangga sebelah yang letak rumah tidak jauh dari situ, bapak ga sempat bilang kalo bu hamidah yang sudah berumur tua itu mau membantu kita untuk membersikan rumah, bu hamidah yang sejak dari pagi membersihkan rumah itu, ya... mungkin terlalu capek akhirnya ia beristirat kemudian tertidur.

sejak kejdian itu, aku mulai teroma, klo melihat sososok perempuan tua dengan rambut acak-acakan, walaupu itu bukan keyataan, tapi sampai dengan detik ini wajah-wajah itu selalu mengahntui dan membayangiku.

saat ku mengambil kunci, telpon rumah yang yang terletak di ruangan tengah pun berdering.

"hallo, assalamualaikum" suara terdengar dari gagang terlepon
"iya, waalaikum salam" jawabku
"didonya ada ustad?"
"iya saya sendiri, saya dido" jawabku
tadi ada pesan dari koord pembinaan intelektual katanya "diskusi kali ini di undur besok sore jam 15.00, atas perubahan ini kami mohon maaf"
" sama-sama, oke kalau gitu terima kasih ya" ucapku
"asalamualaikum"
"walaikumsalam"

dengan diundurnya jadwal diskusi, aku pikir lebih baik menerukan aktipitasku untuk menghatamkan buku cerita yang tinggal beberapa lembar lagi, dengan perasaan yang masih di banyangi ke ganjilan tadi pagi. Terbesit di pikiranku tuk menayakan hal ini pada senior, tapi semuanya pada tertidur.

“Ting nong… ting nong… ting nong…” suara bel berbunyi

Lalu aku membuka pintu, kebetulan ternyata yang datang itu bang rubi senior yang sudah tinngal lama di rumah ini, ini kesempatanku yang sangat pas untuk menanyakan hal ini.

“Emm.. bang, boleh bertanya sesuatu?” ku bertanya dengan nada sedikit gugup.
“Boleh, ada apa emangnya?”
“Tentang plet depan, bang”
“Dengan singakat ku ceritakan semuanya kejadian tadi pagi, sampai dengan sesosok perempuan tua yang berpenampilan aneh.”

Setelah mendengarkan penjelasan dari bang rubi aku baru tau klo rumah itu, memang baru saja di buka oleh tuan rumannya, dia menyuruh ibu rohmah dan amu hamid untuk membersihkan, walaupun mereka berdua sudah sangat tua tapi semangat untuk bekerjanya masih bisa diandalkan malah anak muda sekarang kalah lebih telaten dibanding mereka.

Game’ 15 agustus 2008. 09.12
Baca Selengkapnya...!

Bengkel Karya SMART

Sabtu, 13 September 2008
Embun Ramadhan
Oleh: Agus AP

Terik panas matahari membakar bumi para Nabi. Memanggang bangunan-bangunan yang berdiri kokoh dan tegak, bagaikan hamba-hamba Allah yang terpanggang di dasar tungku neraka. Hanya diam tak bergeming pasrah. Jalan-jalan di ibu kota kairo menciptakan fatamorgana, menjadikan jalan-jalan itu bagaikan tergenang air kemudian menguap keangkasa.

Ramadhan kali ini jatuh pada musim panas. Tiga tahun sudah aku bertemu bulan Ramadhan di negeri kinanah ini. Bulan Ramadhan di negeri fir'aun terasa hidup. Hamba-hamba Allah yang beriman khusyuk beribadah kepada-Nya. Para pemburu ridho Allah memenuhi masjid mendekatkan diri kepadaNya. Para pecinta al-Qur’an melantunkan ayat-ayat indah dan menyelami maknanya. Suasana dan lingkungan yang benar-benar mendukung dalam beribadah.

Namun itu semua tak membekas sama sekali dihatiku. Tidak ada yang istimewa dalam pandanganku. Semua itu hanyalah hak dan kewajiban seorang hamba kepada Dzat yang di imaninya. Bagiku hanya ada dua pilihan, yang taat silahkan mematuhi perintah dan larangan-Nya sedang kan yang ingkar silahkan melanggar aturan yang sudah ada.

***

"Dhan bangun, ayo…! Sahur." Sahabatku ridwan membangunkan aku. Aku pun bangkit
kemudian melihat jam bekker di meja belajarku. Jam sudah menunjukkan pukul 03.05 pagi waktu yang tepat untuk sahur, tidak terlalu cepat ataupun terlambat. Kamar mandi tujuan utamaku. Membasuh muka agar sedikit lebih segar kemudian makan sahur. Perut sudah terasa lapar. Menu sahur yang memikat selera makan, ada gulai ayam yang mengelitik lidah, ditemani tumis daun sawi dan gorengan bakwan. "Aah…kenyang wan. Hari ini enak banget masakanmu wan," aku memuji ridwan sambil menghisap sebatang rokok ditanganku. "Halah-halah…make muji segala kamu Dhan. Kan masakanku emang enak dari dulu. He he he," saut Ridwan tersenyum.

"Wan hari ini aku mau ke attaabah, ikut gak?," aku mau nyari oleh-oleh untuk keluarga. "Lho kamu mau pulang Dhan?," tanya Ridwan kaget. "Gak lah wan. Temen aku satu kampong, itu loh si Ghufron mau pulang, karena deket ya sekalian lah nitip." Aku pun berlalu menuju kamar. "iya deh nanti aku ikut Dhan, tapi bangunkan aku yach… habis subuh aku mau tidur lagi."

Aku belanja beberapa helai kaos untuk adek-adeku, dan juga tasbih koka buat orang tuaku. Di attabah aku tidak terlalu lama berkeliling mencari barang yang aku butuhkan. Aku kasihan dengan Ridwan. Ia terlihat capek. Cuaca hari ini memang panas. Kami berdua melepas lelah di masjid Sayyidina Hussain sekalian menunggu waktu dzuhur . "Dhan…setelah selesai sholat, kita kemana lagi?," tanya Ridwan. "Kita langsung pulang aja Wan, supaya terkejar waktu berbuka."

Akhirnya kami sampai dirumah. Ridwan langsung saja ke kamar mandi mencuci muka mendinginkan kepala yang rasanya sudah mendidih kepanasan. Kemudian ia tergeletak di kamar kelelahan. Sementara itu, aku masuk ke kamar. Kemudian terlihat Ridwan tertidur. Aku menuju dapur membuka lemari es. Lalu minum. "Ramadhan, kamu gak puasa lagi? Sampai kapan seperti ini terus?," hardik suara hati kecilku. Aku pun tak menggubris teguran itu. Melakukan apapun sesuai kehendak hati. Dalam hati ku, hanya kegersangan jiwa yang aku rasakan. Tidak seorang pun yang tahu apa yang terjadi denganku. Semua ini merupakan reaksi atas kekecewaanku dalam menjalani hidup.

***

Tiga tahun sudah, aku melewati bulan suci Ramadhan tanpa berpuasa. Menjalankan sholatku tanpa keikhlasan. Semua yang tampak aku lakukan hanyalah formalitas belaka. Dihadapan sahabat-sahabatku, aku sosok yang ahli ibadah dan taat pada perintah-perintah-Nya. Mereka tertipu oleh penampilan luarku. Akupun menghisap sebatang rokok, karena Ridwan masih tidur, dia tidak akan tahu. "Ah termenung lagi.. aku harus masak udah jam setengah lima," ketus batinku. Aku bergegas segera ke dapur memulai masak untuk berbuka puasa nanti.

Malam ini aku masih bertahan ikut tarawih. Walaupun itu terpaksa bagiku. Hanya sekedar ikut menyemarakkan jamaah tarawih. Mendengarkan tausiah-tausiah dijeda empat rakaat tarawih bagaikan angin lalu tak membekas dalam hatiku. Segala nasehat dan ucapan yang baik, hawa nafsuku terus menentangnya.

Aku berjalan menelusuri lorong gelap. Hanya hitam kelam yang tertangkap oleh mata. Berjalan perlahan-lahan mengikuti kehendak hati, tanpa tujuan. Beberapa kali aku terjatuh, entah benda apa yang selalu menghadang langkah pelanku. Bruuuk…! Ini yang ketujuh kali aku terjatuh hingga wajahku mencium tanah. Aku tersiksa sekali berjalan ditengah kegelapan. Mataku menangkap sebersit cahaya putih. Ternyata cahaya itu dari seorang kakek renta yang menggunakan jubah putih. Ia berjalan dengan sebuah tongkat untuk menopang tubuh rentanya ditangan kanan.

Kakek itu berjalan lambat sekali. Ada harapan bagiku, untuk sebagai teman satu perjalanan menelusuri lorong gelap ini. aku berlari kecil mengejar kakek itu. Namun, sampai tak kunjung jua aku dapat mengejanya. Sampai aku merasa lelah. Aku berteriak memanggil kakek itu. Aku menangis memohon untuk tidak meninggalkanku sendirian. Aku meronta-ronta memelas. Tubuh sang kakek hilang ditelan kegelapan. Hingga sayup…sayup aku mendengar suara memanggilku.

"Dhan..Ramadhan…! bangun… bangun…, kamu kenapa?," tubuhku digoyang-goyang oleh Ridwan. Aku bangkit kemudian terdiam. "Kamu kenapa menangis Dhan?! Teriak-teriak dan meronta seperti itu?" Aku masih terdiam. Memikirkan apa yang baru saja aku alami. Tubuhku terasa lelah. Air mataku basah membanjiri pipiku. Hanya sebuah mimpi namun begitu nyata di hadapanku. "Minum dulu Dhan, nih..," ridwan menyuguhkan segelas air putih. "Kamu mimpi buruk yach?," tanya Ridwan. "Nggak tau Wan…aku juga masih bingung, kenapa mimpi seperti itu.. rasanya ngeri sekali wan," aku masih merinding penuh rasa takut.

Malam selanjutnya, aku pun bermimpi lagi. Kali ini aku mampu mengejar kakek itu. Kemudian menuntun aku menyelusuri lorong gelap. Hingga sampailah di ujung jalan yang bercabang dua. "Anak muda… aku hanya bisa mengantarmu sampai disini." Kakek itu diam sejenak. "Anak muda… kamu mempunyai dua pilihan. Meneruskan perjalan ke kiri atau ke kanan. Nasibmu ditentukan oleh pilihanmu sendiri," kakek itu berpesan. Aku memutuskan memilih jalan kekiri dan terus menelusurinya. Aku tidak mendapatkan apa-apa di penghujung jalan ini. Aku pun kembali. Kemudian aku mengikuti jalan cabang ke kanan. Namun, aku hanya menemukan jalan buntu. Kemudian aku terduduk lesu. Lelah. Pasrah tiada harapan dapat keluar dari tempat yang gelap gulita ini. Hanya kegelapan di sekeliling ku. Aku baru sadar kemana kakek itu pergi berpisah denganku? Ia meninggalkanku sendirian disini. Keherananku lenyap berganti rasa takut yang menyergap jiwaku. Aku semakin menggigil ketakukan. Tak dapat keluar dari lorong gelap ini.

"Dhan…! Ramadhan…! Ramadhan…! Bangun, bangun." Aku dikejutkan oleh teriakan orang yang memanggil ku. Seketika akupun bangkit. Wajahku bercucuran keringat dingin. Suara itu ternyata suara Ridwan yang membangunkan aku.

***

Aku duduk termenung. Aku ingat kembali kejadian-kejadian dalam mimpi. Keadaan lorong gelap yang panjang, kemudian terdapat dua cabang lorong. ada sesuatu yang berbeda ketika aku memasuki dua lorong itu. Aku merasakan ini menggambarkan suasana hati ku saat ini. ketika aku memasuki lorong cabang kiri hatiku terasa nyaman dan tenang ketika aku memasuki lorong kanan, jiwaku terasa gersang. Dendam dan amarah yang bercampur dengan kegelisahan hati, kegersangan jiwa. Aku segera mengambil air wudhu, kemudian menunaikan sholat malam. Aku mencoba meresapi setiap bacaan dalam sholatku. Kemudian aku duduk berdzikir. Merenung kembali kejadian masa lalu yang membuat aku memusuhi-Nya. Hanya karena seorang wanita yang aku cintai, dikehendaki kembali kesisiNya lebih awal. Aku tidak terima dengan kenyataan hidup ini. Baru aku sadari, aku marah kepadaNya dan juga memusuhiNya merugikan diriku sendiri. Hatiku mati, jiwaku tandus. Hanya bagaikan mayat hidup yang berjalan diatas permukaan bumi.

"Wah..wah..wah… Dhan, dirimu hari ini terlihat cerah banget sih," puji Ridwan.

"Wangi lagi," sambungnya.

"Ah masak gitu wan, bukannya aku tiap hari tetap seperti ini?"

"Dhan… jangan-jangan kamu dapat anugerah lailatul qadar yach."

"Ah sembarangan kamu ngomong Wan, masak orang kayak aku bisa dapat kayak gitu. Emangnya tadi malam 17 Ramadhan yach?."

"Ya ampun Dhan…ya iyalah masak ya iya dong". Jawab ridwan tersenyum.

Dalam hatiku berkata, "apa benar yang dikatakan Ridwan?" Memang pada hari ini hatiku terasa lebih leluasa. Lebih segar dan hidup. Serasa tanpa ada beban yang menghimpit. Aku menjalankan puasa hari ini karena berharap mendapatkan ridho-Nya. Rasa kesal, marah dan dendam ku kepada-Nya sama sekali tidak terasa. Hanya tasbih, tahmid dan takbir yang mengalun-alun dalam ruang hatiku.

Ada yang mengganjal dalam hatiku. Siapa kakek berbaju putih yang dua hari ini muncul dalam hatiku. Aku tidak mengenal kakek itu. suara kakek itu sangat istimewa sekali bagiku. Nada bicaranya yang halus namun menggetarkan. Terima kasih kakek, karenamu aku sadar. Bahwa selama ini aku menzalimi diriku sendiri. Dan mendurhakai-Nya.

Sisa Ramadhan pada tahun ini tidak akan aku sia-siakan. Teriknya matahari yang memanggang negeri seribu menara ini tidak meluluhkan niat dan ketulusanku untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Sholatku, puasaku dan semua ibadahku hanya untuk-Nya. Ramadhan kali ini bagaikan setetes embun yang menyejukkan hatiku.
Baca Selengkapnya...!

Bengkel Karya SMART

Sabtu, 06 September 2008
Karya di bawah ini adalah tulisan salah seorang peserta SMART. Tulisan ini kami posting di sini agar dikoreksi dan dikomentari oleh kawan-kawan semua anggota SMART. Untuk itu kami hanya memasukkan tulisan ini apa adanya (tanpa edit) sebagaimana file yang kami terima dari penulis. So, silahkan bagi kawan-kawan semua untuk membengkelnya...!

Mendingan aku menulis saja.
By. Didi suardi

Aduh teman-temanku sudah banyak yang menulis, dan karya-karyanya sudah cukup lumayan banyak, sedagkan aku baru beberapa gelintiran, kadang aku malu juga sama teman-teman. Tapi aku sadar mereka lebih kompeten dibanding diri saya peribadi, yah… mulai saat ini dan akan datang aku akan berusaha semakin rajin, rajin, dan rajin dalam menulis dan berkarya, tapi dari mana aku harus memulai menulis? di depan komputer saja jarang, baca buku pun alas-alasan. Aku emang orangnya pemalas. Entah apa yang membuat aku jadi begini. Tapi aku sadar pada diriku dan aku ga akan menyalahkan siapa-siapa. Kemalasanku karna akibat kebiasaanku, sungguh aneh memang seorang pemalas seperti aku ini ingin jadi super hero yang pada suatu saat bisa diundang kemana-kemana, senangnya bisa seperti mereka yang sukses dan meraih cita-citnya denagn penuh kebanggaan.

Aku teringat pesan kedua orang tuaku saat aku akan berangakat ke mesir mereka berpesan " jadilah kebanggan dirimu dan masa depanmu" saat ini, ketika aku menuliskan artikel ini aku sempat ingin menangis, menagis dan trerus menagis. Air mataku yang terus mengenang di sudut mata, setetes demi setetes terus bercucuran, suaraku semakin serak, aku ingin sekali mencurahkan rasa penyesalanku saat ini ke dalam bentuk tangisan. Tapi aku tidak yakin dengan tangisanku ini aku mampu menebus ketertinggalanku, kelalayanku, dan kebodohanku, tidak! Aku tak boleh menagis, apa lagi mengeluh, aku ini sudah besar, dan tangisan bukanlah jalan keluar yang mampu menyeleseikan masalah bukan pula suatu alat yang dapat mengembalikan kemasa lalu, tangisan hanya aplikasi sebuah rasa penyesalan saja.

Yeeesss!... mari teman-teman kita berjuang, saling memberi semangat dan motivasi, Mungkin dengan menulis ini akan menjadi peluang di masa depan dan juga ladang amal buat kita setelah meninggal nanti. Amiin

11.17 minggu, 06 september 2008
Baca Selengkapnya...!

Bengkel Karya SMART

Rabu, 03 September 2008
KSATRIA GREYSTONE [Bag. 1]
Oleh: Abid Abdul Mun'im

Kabut tipis menyelimuti rawa Greystone, merembes sampai ke celah-celah bebatuan granit. Dingin dan senyap. Hewan-hewan nokturnal mulai keluar dari sarangnya. Seekor viper (ular derik) merayap diantara akar konifer, disalah satu cabang pohon jenis pinus tersebut bertengger masked owl (jenis burung hantu). Pupil matanya berkilap memantulkan cahaya bulan. Jika membaca gerak tubuhnya jelas sekali ia sedang membidik sasaran, seekor cecurut yang sedang melahap cacing tanah.

Cahaya redup-terang silih berganti menyeruak dari rekahan gundukan tanah di sela-sela rumput liar yang kini mulai menguning. Mendekat lebih dalam terdengar bunyi musik diiringi derik trio jangkrik menghasilkan bentuk irama orkestral yang unik. Kumbang menari bersama beberapa serangga air. Lebah madu menuangkan royal jelly kedalam gelas dari kelopak bunga, Julus si kaki seribu mengitari area pesta, hentakan kaki-kakinya menambah riuh suasana, dipunggungnya anak-anak semut bersorak kegirangan. Tictus si kutu memainkan sulapnya. Kunang-kunang bergelantungan diatas panggung, sebagian menari membentuk aneka ragam formasi, menyinari balairung luas milik Antius Alpha, Jenderal tertinggi tentara semut dari klan Red Ants.

Malam ini adalah perayaan kemenangan sebuah perang besar, sedikit dibandingkan dengan kekalahan-kekalahan dibanyak medan pertempuran lain. Merayakan sebuah kesuksesan menahan agresi diktator Nassutz Termitius, pemimpin bangsa rayap dari koloni Subterranean Termite yang telah dua kali berusaha menguasai Chameleon Base, salah satu kota garnisun milik klan Red Ants. terletak dibagian barat Greystone.

Seekor perwira semut tiba-tiba berdiri, tubuhnya sudah tidak lengkap lagi. Tangan kanan dan sebelah sungutnya putus. Ia ingin menceritakan bagaimana pasukannya mengalahkan legiun musuh.

Setelah memperkenalkan diri, mulailah ia bercerita.

“Ketika itu di hutan rumput, Gramini, sudah lima hari kontak kami terputus dengan komando utama”, sang perwira membuka kisah, suaranya parau. Berikutnya ia melanjutkan.

Pagi yang dingin hingga sanggup membekukan ujung sungutmu. Kabut mengembun, berkumpul dan menempel di badan, membuat kondisi kian mencekam. aku bahkan tak dapat lagi merasakan tanganku yang sedang menggenggam tongkat komando. Ransum makanan mulai menipis, pasukan terlihat kelelahan. Namun misi kami sudah jelas. Memotong jalur logistik musuh.

Aku menunjuk seekor prajurit muda untuk melakukan scouting, mengumpulkan informasi kondisi medan, posisi dan jumlah kekuatan musuh. Setelah menerima instruksiku iapun keluar dari balik rumpun.

Dua jam berlalu, prajurit itu belum kembali. Aku mulai khawatir. Efesiensi pasukan sangat penting bagiku. Pasukan kami cuma 1 unit Peltarion, berfungsi sebagai skirmisher (penahan serangan musuh), 2 unit pasukan pemanah (semut bersayap pembawa misil/racun) serta 1 unit pasukan utama, Phalanx, pendobrak. Maka kuputuskan dua prajurit untuk menjemput si mata-mata.

Matahari telah condong ke barat, tatkala ketiga prajurit kembali. Seluruh komandan pasukan sudah berkumpul menunggu pengarahanku. Seekor prajurit melaporkan saat ini pasukan musuh sedang melintasi rute yang biasa dilalui pedagang antar klan serangga, artinya malam ini mereka akan melewati tepi lembah pasir, atau setidaknya berkemah didekat lembah tersebut.

Ia melanjutkan laporannya bahwa kekuatan musuh terdiri dari 4 unit Elite Nasute, 2 unit Peltash (peltarion) yang mengawal 20 kumbang badak pengangkut ransum dan obat-obatan, serta pekerja konstruksi dan paramedik. Kalau dihitung secara statistik pasukan mereka sungguh lebih unggul secara persenjataan dan pengalaman perang dibanding kekuatan kami. Selain itu Nassutz Termitius sangat licik, biasanya para pekerja konstruksi dan paramedis dipersenjatainya dan memperoleh pelatihan militer, menjadikan mereka memiliki fungsi ganda. Dimata Lord Nassutz, para pekerja adalah prajurit, Hoplite.

Melakukan serangan frontal sekaligus tidak akan berguna. Maka kami harus memanfaatkan topologi dan kondisi alam yang ada. Aku menyadari bahwa tugasku hanya menghambat dan memotong jalur logistik, bukan menghancurkan pasukan musuh.

Para perwira berdebat mengenai strategi yang akan dipakai, sebagian menginginkan pertarungan konvensional, all out. Tetapi aku memutuskan penyerangan dengan taktik hit and run saja. Karena pasukan kami yang terbatas diperparah dengan moral yang menurun lantaran ransum yang menipis. Penyergapan dilakukan malam ini dengan tigaperempat kekuatan. Tujuannya untuk mengetahui kekuatan lawan dan merampas sebagian ransum, sekaligus demoralisasi pasukan musuh.

Setelah briefing singkat dan penentuan posisi, pasukan mulai bergerak kearah bukit diatas perkemahan musuh. Dengan aba-aba dariku setengah dari Phalanx yang jumlah perunitnya seratus delapanpuluh prajurit itu merangsek ke perkemahan musuh. Gelombang kedua, pasukan pemanah menyerbu masuk mengangkut ransum-ransum makanan, sementara Peltarion menahan pasukan musuh yang mulai menyusun kekuatan. Pasukan pekerja konstruksi lari tunggang-langgang. Sedetik kemudian terompet tanda penarikan mundur pasukan membahana, memecah kepanikan. Para penyergap kembali kekegelapan rimbunan hutan Gramini.

Pasukan berhasil keluar dari medan pertempuran dengan luka-luka yang tidak seberapa. Kerugian dipihak musuh terlihat jelas, beberapa kumbang pengangkut terjebak kedalam pasir. Penyergapan ini merupakan terapi kejut yang menggoyahkan semangat dan moral musuh. Sebuah kesuksesan yang gemilang.

Barikade disekitar perkemahan musuh telah dibangun. Taktik gerilya ini tak bisa diterapkan sekali lagi. Musuh pasti sudah membacanya. Barikade tersebut memang efektif menahan serangan bergaya ‘serang lalu kabur’ seperti yang kulakukan malam tadi. Kali ini aku harus menemukan titik kelemahan mereka, segera.

Kuperhatikan ternyata pasir merupakan musuh alami serangga bertubuh tambun dengan kaki-kaki yang ramping. Sifat ‘renyah’ pasir membuat gerakan mereka menjadi lamban sehingga rawan terhadap serangan. Pertanyaannya, bagaimana membuat kumbang-kumbang badak itu terjebak dalam lembah pasir, sementara pasukan elit musuh masih sangat kuat?

Terus terang, aku tidak suka berurusan dengan Elite Nasute yang terkenal kejam itu. Ditambah lagi penglima mereka adalah yang bertanggungjawab ‘menyapu’ kota Karang Kecil diutara Greystone tahun lalu. Mayor Predatius Mandibyle.

Sedangkan aku adalah perwira ‘karbitan’ yang memperoleh kenaikan pangkat luar biasa ketika menyelamatkan setengah penduduk kota Karang Kecil dari aneksasi sang mayor.

Tak bisa kubayangkan keberingasan tentara Mandibyle saat memasuki kota. Ia mengelompokkan penduduk menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, penduduk non semut. Kelompok kedua, semut pekerja, betina dan anak-anak (larva). Kelompok ketiga, semut prajurit dan bangsawan, termasuk ratu.

Sangat terang dalam ingatanku tatkala sang mayor menggiring kelompok ketiga dalam sebuah lubang maut, sarang para Wasp, termasuk klan tawon penyengat paling biadab. Ratu semut yang sudah terluka parah diseret dengan taring-taring mereka yang kotor, dijebloskan dengan paksa kedalam lubang gelap yang sempit itu. Jeritannya menyayat hati. Kemudian satu persatu prajurit-prajurit yang tertangkap mereka lemparkan kedalamnya. Sungguh keji dan tanpa belas kasih.

Ketika aku dilemparkan kedalam sarang maut itu, aku melihat sebuah celah sempit diantara tumpukan mayat koloni bangsaku. Kupaksakan tubuh kecilku keluar. Aku tidak peduli lagi pada sungutku yang rusak. Sisa tenagaku hanya untuk satu hal. Menyelamatkan semua yang dapat diselamatkan.

Tiba-tiba ide itu memecah lamunanku, memisahkan unit tentara musuh. Unit Nasute merupakan pasukan pendobrak, jika aku dapat memancing mereka keluar dari barikade pertahanan, mungkin selanjutnya pasukan lain dapat mengatasi dua unit Peltash dan pasukan Hoplite.

Semua unit Peltarion dan Phalanx masing-masing kubagi dua, grup Alfa dan Zulu. kemudian satu unit pasukan pemanah kutempatkan pada kedua grup pasukan yang sekarang lebih ramping namun fresh dan solid.

Pagi ini grup Alfa telah berada pada jarak jangkauan panah diluar barikade. Yel-yel diteriakkan. Hujan anak panah meluncur, hampir sepertiga tentara gabungan Elite Nasute jatuh menggelepar ketika mereka mulai terintimidasi keluar dari barikade pertahanan. Seluruh Elite Nasute memburu pasukan pemanah, insting sebagai pasukan pendobrak mempengaruhi kecepatan jelajahnya yang dahsyat.

Predatius Mandibyle mengira grup Alfa adalah seluruh pasukanku. Maka ia sendiri yang memimpin perburuan ini. Sesuai kode yang kuberikan, unit Peltarion grup Zulu bergabung dengan pasukan yang sama di grup Alfa. Begitu pula dengan seluruh pasukan pemanah. Misil racun beterbangan kearah pasukan Mandibyle, sementara Peltarion menahan gerak musuh.

Phalanx memutar arah mengitari bukit. Prioritas utama adalah melumpuhkan kumbang pengangkut. Dengan manuver kilat pasukan pendobrak ini menyergap Peltash yang sedang lengah didalam barikade, terus merangsek masuk membuat kumbang-kumbang badak berlarian menjauh kearah lembah pasir. Kaki-kaki serangga gemuk itu terperosok kedalam pasir. Skak mat! Unit Hoplite dari gabungan paramedik dan pekerja konstruksi sudah mengangkat bendera putih.

Disudut lain pertempuran aku sedang bergumul dengan Elite Nasute. Belum jelas kemenangan ada dipihak siapa. Pertarungan melee alias man-to-man combat tak terelakkan. Sekarang aku berhadapan langsung dengan Mandibyle. Ukuran tubuhnya dua kali lipat tubuhku. Aku tak tahu bagaimana keluar dari dilema ini. Sejurus kemudian taringnya mencabik tangan kananku, aku hanya membutuhkan seperseribu detik kesempatan untuk menancapkan sengatku ketubuhnya. Seketika badan kekar sang mayor terjerembab. Jeritannya menggema, para nasute terpana.

Setelah aku mengkonsolidasi pasukan dan menginventarisir rampasn perang, kemudian aku kembali ke ibukota melaporkan hasil misi kami di lembah pasir.

Pertarungan memperebutkan lembah Greystone belum berakhir. Nassutz Termitius sedang menyusun strategi baru, berkoalisi dengan klan Wasp. Jika aliansi ini benar-benar terwujud, berarti kita berhadapan dengan dua kekuatan yang amat berbahaya. Sekarang kita bukan hanya membutuhkan aliansi, tetapi juga sebuah tekad yang membaja, semangat yang membara untuk bebas dari cengkraman penjajah. Sang perwira mengakhiri pengalamannya.

Kemenangan sejati bukanlah penguasaan dan perusakan atas hak individu yang lain, melainkan kemampuan menjaga keseimbangan hak dan kewajiban individu. Disini terbukti, peperangan adalah sebuah arena kekacauan yang konstan, seorang panglima pemenang adalah dia yang dapat mengendalikan kekacauan tersebut, kekacauannya dan kekacauan musuhnya. Dia yang belum pernah merasakan pahitnya sebuah kekalahan, tidak tahu bagaimana merasakan manisnya kemenangan. Sedangkan jenderal yang brilian adalah ia yang benar-benar mengenal dan mengetahui siapa musuhnya.[]

Baca Selengkapnya...!

Makalah

Mengenal Dunia Jurnalistik;
Definisi, Sejarah dan Idealisme Seorang Jurnalis*

Diracik oleh: M. Luthfi al-Anshori

Prolog

* Menulis itu ibarat naik sepeda. Tidak ada teori dan teknik khusus yang bisa menjadikan seseorang mahir naik sepeda kecuali latihan dan “kebiasaan”.

* Menulis juga ibarat berenang. Sesering apa pun Anda membaca buku-buku atau menyimak ceramah tentang teknik berenang, Anda tidak akan bisa menjadi perenang jika tidak “nyebur” langsung di kolam renang dan berlatih.

* Writing is a prosess — Kerja intelektual yang membutuhkan keahlian khusus (writing technique), latihan, kejelian, daya nalar, wawasan, referensi, etika, waktu, dan… kesabaran.

* Communication is the Goal. The reason for putting words on paper in the first place is to communicate, to convey ideas, information, or impressions from your mind to the minds of your readers.

* Clarity is the Keynote of Good Writing. The goal of communication is clarity. What you have written has not be misunderstood.[1]

Pengertian Jurnalistik

Definisi jurnalistik sangat banyak dan beragam. Namun pada hakekatnya, definisi-definisi yang dicetuskan oleh para pakar komunikasi maupun jurnalistik itu mempunyai sebuah titik persamaan. Secara etimologi, jurnalistik (journalistic) berarti kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda journalistiek artinya “penyiaran catatan harian”.

Istilah jurnalistik erat kaitannya dengan istilah pers dan komunikasi massa. Jurnalistik adalah seperangkat atau suatu alat madia massa. Jurnalistik mempunyai fungsi sebagai pengelolaan laporan harian yang menarik minat khalayak, mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masyarakat mengenai apa saja yang terjadi di dunia. Apapun yang terjadi baik peristiwa faktual (fact) atau pendapat seseorang (opini), untuk menjadi sebuah berita kepada khalayak.

Jurnalistik adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari. Jadi jurnalistik bukan pers, bukan media massa. Menurut kamus, jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, atau berkala lainnya.

Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud dengan jurnalistik, dibawah ini adalah definisi dari para tokoh tentang jurnalistik seperti yang di rangkum oleh Kasman dalam bukunya “Jurnalisme Universal; Menelusuri Prinsip-Prinsip Da’wah Bi Al-Qalam dalam Al-Qur’an, bahwa jurnalistik adalah:

M. Djen Amar, jurnalistik adalah usaha memproduksi kata-kata dan gambar-gambar yang dihubungkan dengan proses transfer ide atau gagasan dengan bentuk suara, inilah cikal bakal makna jurnalistik sederhana. Pengertian menurut Amar juga dijelaskan oleh Sumadiria bahwa, jurnalistik adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berita kepada khalayak seluas-luasnya.

M. Ridwan, jurnalistik adalah suatu kepandaian praktis mengumpulkan, mengedit berita untuk pemberitaan dalam surat kabar, majalah, atau terbitan-terbitan berkala lainnya. Selain bersifat ketrampilan praktis, jurnalistik merupakan seni.

Adinegoro, jurnalistik adalah semacam kepandaian karang-mengarang yang pokoknya memberi perkabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya. Sedang menurut Summanang, mengutarakan lebih singkat lagi, jurnalistik adalah segala sesuatu yang menyangkut kewartawanan.

Erik Hodgins (Redaktur Majalah Time), jurnalistik adalah pengiriman informasi dari sini ke sana dengan benar, seksama, dan cepat, dalam rangka membela kebenaran dan keadilan.

Haris Sumadiria, pengertian secara teknis, jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.

Menurut A.Muis dan Edwin Emery yaitu; A. Muis (pakar hukum komunikasi) mengatakan bahwa definisi tentang jurnalistik cukup banyak. Namun dari definisi-definisi tersebut memiliki kesamaan secara umum. Semua definisi jurnalistik memasukan unsur media massa, penulisan berita, dan waktu yang tertentu (aktualitas). Menurut Edwin Emery juga sama mengatakan dalam jurnalistik selalu harus ada unsur kesegaran waktu (timeliness atau aktualitas). Dan Emery menambahkan bahwa seorang jurnalis memiliki dua fungsi utama. Pertama, fungsi jurnalis adalah melaporkan berita. Kedua, membuat interpretasi dan memberikan pendapat yang didasarkan pada beritanya.

Menurut Ensiklopedi Indonesia, jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari (pada hakikatnya dalam bentuk penerangan, penafsiran dan pengkajian) secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada.[2]

Sejarah Jurnalistik

Jurnalistik memiliki sejarah yang sangat panjang. Dalam situs ensiklopedia, www.questia.com tertulis, jurnalisme yang pertama kali tercatat adalah di masa kekaisaran Romawi kuno, ketika informasi harian dikirimkan dan dipasang di tempat-tempat publik untuk menginformasikan hal-hal yang berkaitan dengan isu negara dan berita lokal. Seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai mengembangkan berbagai metode untuk memublikasikan berita atau informasi.

Pada awalnya, publikasi informasi itu hanya diciptakan untuk kalangan terbatas, terutama para pejabat pemerintah. Baru pada sekira abad 17-18 surat kabar dan majalah untuk publik diterbitkan untuk pertama kalinya di wilayah Eropa Barat, Inggris, dan Amerika Serikat. Surat kabar untuk umum ini sering mendapat tentangan dan sensor dari penguasa setempat. Iklim yang lebih baik untuk penerbitan surat kabar generasi pertama ini baru muncul pada pertengahan abad 18, ketika beberapa negara, semisal Swedia dan AS, mengesahkan undang-undang kebebasan pers.

Industri surat kabar mulai menunjukkan geliatnya yang luar biasa ketika budaya membaca di masyarakat semakin meluas. Terlebih ketika memasuki masa Revolusi Industri, di mana industri surat kabar diuntungkan dengan adanya mesin cetak tenaga uap, yang bisa menggenjot oplah untuk memenuhi permintaan publik akan berita.

Seiring dengan semakin majunya bisnis berita, pada pertengahan 1800-an mulai berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan majalah.

Kantor berita bisa meraih kepopuleran dalam waktu sangat cepat. Pasalnya, para pengusaha surat kabar dapat lebih menghemat pengeluarannya dengan berlangganan berita kepada kantor-kantor berita itu daripada harus membayar wartawan untuk pergi atau ditempatkan di berbagai wilayah. Kantor berita lawas yang masih beroperasi hingga hari ini antara lain Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France Presse (Prancis).

Tahun 1800-an juga ditandai dengan munculnya istilah yellow journalisme (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk “pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst.

Ciri khas jurnalisme kuning adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu: meningkatkan penjualan! Jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.

Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS awalnya memang partisan, serta dengan mudah menyerang politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif dan berimbang. Namun para wartawannya kemudian memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.

Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong para wartawan untuk membentuk organisasi profesi mereka sendiri. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang tidak bias dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme profesional.

Bagaimana dengan di Indonesia? Tokoh pers nasional, Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam bukunya “PWI di Arena Masa” (1998) menulis, Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono (1875-1918), pendiri mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang jadi harian, sebagai pemrakarsa pers nasional. Artinya, dialah yang pertama kali mendirikan penerbitan yang dimodali modal nasional dan pemimpinnya orang Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya, pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Haryadi Suadi menyebutkan, salah satu fasilitas yang pertama kali direbut pada masa awal kemerdekaan adalah fasilitas percetakan milik perusahaan koran Jepang seperti Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung), dan Sinar Baroe (Semarang) (”PR”, 23 Agustus 2004).

Menurut Haryadi, kondisi pers Indonesia semakin menguat pada akhir 1945 dengan terbitnya beberapa koran yang mempropagandakan kemerdekaan Indonesia seperti, Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), dan The Voice of Free Indonesia.

Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan. Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.

Jurnalisme kuning pun sempat mewarnai dunia pers Indonesia, terutama setelah Soeharto lengser dari kursi presiden. Judul dan berita yang bombastis mewarnai halaman-halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru. Namun tampaknya, jurnalisme kuning di Indonesia belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional semacam itu.

Teknologi dalam Jurnalisme

Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan teknologi publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun 1880-1900, terdapat berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang paling menonjol adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita bisa ditunda hingga malam hari dan mulai munculnya foto di surat kabar.

Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian di koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam pita, walaupun belum banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu.

Pada 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena berita yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan dengan munculnya televisi.

Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era 1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi berita. Selain deadline bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy cetak yang bisa dilakukan secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan marketing mengalami perubahan sangat besar dengan penggunaan komputer di industri media massa.

Memasuki era 1990-an, penggunaan teknologi komputer tidak terbatas di ruang redaksi saja. Semakin canggihnya teknologi komputer notebook yang sudah dilengkapi modem dan teknologi wireless, serta akses pengiriman berita teks, foto, dan video melalui internet atau via satelit, telah memudahkan wartawan yang meliput di medan paling sulit sekalipun.

Selain itu, pada era ini juga muncul media jurnalistik multimedia. Perusahaan-perusahaan media raksasa sudah merambah berbagai segmen pasar dan pembaca berita. Tidak hanya bisnis media cetak, radio, dan televisi yang mereka jalankan, tapi juga dunia internet, dengan space iklan yang tak kalah luasnya.

Setiap pengusaha media dan kantor berita juga dituntut untuk juga memiliki media internet ini agar tidak kalah bersaing dan demi menyebarluaskan beritanya ke berbagai kalangan. Setiap media cetak atau elektronik ternama pasti memiliki situs berita di internet, yang updating datanya bisa dalam hitungan menit. Ada juga yang masih menyajikan edisi internetnya sama persis dengan edisi cetak.

Sedangkan pada tahun 2000-an muncul situs-situs pribadi yang juga memuat laporan jurnalistik pemiliknya. Istilah untuk situs pribadi ini adalah weblog dan sering disingkat menjadi blog saja.

Memang tidak semua blog berisikan laporan jurnalistik. Tapi banyak yang memang berisi laporan jurnalistik bermutu. Senior Editor Online Journalism Review, J.D Lasica pernah menulis bahwa blog merupakan salah satu bentuk jurnalisme dan bisa dijadikan sumber untuk berita.[3]

Idealisme Seorang Jurnalis

Suatu kebahagiaan tersendiri ketika kita telah mengenal dan mengetahui bakat sendiri. Terlepas dari benar tidaknya perasaan tersebut, setidaknya hal tadi bisa menjadi modal untuk peningkatan rasa percaya diri yang penting untuk dimiliki sebelum memilih dan menetapkan jalan hidup yang akan ditempuh nantinya.

Menulis sendiri, terutama penulisan yang ditujukan buat konsumsi publik, merupakan aktivitas yang memerlukan kepercayaan diri tinggi. Bagaimana mungkin kita bisa meyakinkan orang lain lewat tulisan jika kita sendiri tidak yakin pada apa yang ditulis?

Untuk menjadi penulis yang idealis pun bisa bergantung pada keinginan, cita-cita serta idealisme yang kita pilih. Secara umum, idealisme seorang penulis bisa terletak pada penciptaan hasil karya yang orisinal. Bukan copy-cat ataupun menyadur karya penulis lain secara mentah–mentah untuk kemudian diakui sebagai karya miliknya.

Idealisme seorang penulis juga bisa bergantung pada jenis tulisan serta maksud dan konteks penulisan tersebut. Untuk konteks penulisan jurnalistik seperti peliputan misalnya, kita harus bisa menuliskan segala sesuatunya secara apa adanya. Benar–benar berdasarkan situasi dan kondisi real dalam kacamata yang obyektif. Meskipun terkadang unsur subjektif pun dibutuhkan untuk memberi kesan lebih personal pada tulisan serta untuk memberikan penilaian secara pribadi terhadap hal yang diangkat dalam tulisan tersebut. Misalnya ketika menulis tentang sebuah konser musik yang rame, maka kita harus menggambarkan tentang jalannya konser tersebut secara jujur berdasarkan keadaan di lapangan, meskipun band–band yang tampil pada konser tersebut bukan favorit kita.

Idealisme seorang penulis juga bisa terletak pada pemilihan tema tulisan, pencarian ide karya yang fresh dan orisinal, serta gaya dan karakter penulisan. Ada penulis yang akan selalu memilih tema hukum atau memasukkan unsur dan nuansa dunia bawah tanah ke dalam setiap novel yang di-tulisnya. Atau ada juga yang konsisten untuk selalu mencari ide–ide baru yang bersifat imajinatif atau fiksi untuk kemudian diolah ke dalam bentuk tulisan ketimbang berdasarkan pada situasi real yang saat ini terjadi misalnya. Semuanya bisa saja tergantung pilihan kita. Idealisme yang dimaksud di sini lebih kepada penulisan tanpa adanya pengaruh atau tekanan dari orang lain. Meskipun ada juga yang memilih berdasarkan pesanan pihak tertentu karena didorong oleh motif yang lain. Misal menulis suatu buku dengan tema yang menyesuaikan dengan tren favorit yang sedang digandrungi sebagian besar publik saat ini atas permintaan suatu penerbit. Hal ini pun sah saja, karena patut diingat juga bahwa selain misi tertentu yang dibawa oleh seorang penulis, banyak faktor lain yang bisa berpengaruh terhadap seorang penulis. Seperti faktor kontinuitas tulisan misalnya. Terutama buat mereka yang telah menggantungkan hidup sepenuhnya dari jalan penulisan ini. Selama karya yang ditulis bukan hasil jiplakan dan berdasarkan kebohongan atau pemutarbalikan suatu fakta.

Penulis tidak pasaran mungkin bisa diartikan kepada penulis yang memiliki gaya atau karakter tersendiri dalam menulis. Penilaian atas baik buruknya suatu karya bergantung pada penerimaan publik atau pasar. Meskipun pasar ini bisa terbagi atas pasar secara mayoritas yang ditandai oleh kesuksesan suatu penulis secara komersial ataupun pasar dengan segmentasi tertentu, seperti laku dan diminati hanya oleh suatu komunitas.

Gaya dan karakter penulisan bisa lahir dari suatu proses penulisan yang dilakukan secara kontinu berdasarkan wawasan serta pengalaman hidup seorang penulis. Sangat jarang seorang penulis langsung memiliki karakter kuat pada penulisan pertama mereka. Seorang penulis sekaliber Charles Dickens pun harus mengalami proses penolakan terlebih dahulu sebelum akhirnya sukses melahirkan karya–karya besar.

Untuk bisa mendapatkan karakter khas, bisa dimulai dengan meningkatkan kepekaan terhadap segala sesuatu. Kepekaan dibutuhkan untuk mampu mengikat pembaca lebih emosional terhadap suatu tulisan. Selain itu ada baiknya juga kalau kita mulai menambah wawasan dengan membaca berbagai buku sebanyak mungkin. Untuk menambah referensi sekaligus mencari inspirasi karakter penulisan. Kita pasti bisa membedakan antara terinspirasi atau terpengaruh dengan meniru.[4]

Epilog

“Dunia dalam dunia”. Itulah ungkapan yang akhirnya muncul dari benak penulis ketika mencermati fenomena alam yang diciptakan oleh para manusia. Bahwa dalam rangka mempertahankan eksistensinya masing-masing, manusia cenderung menciptakan dunia mereka sendiri-sendiri. Ada yang memilih untuk memasuki dunia jurnalistik. Ada yang memilih untuk masuk ke dalam dunia politik. Ada juga yang masuk dalam dunia remang-remang. Mungkin memang seperti itulah sunnatullah. Bahwa setiap manusia akan mencari komunitas atau dunia kecil mereka untuk dapat terus bertahan hidup dalam dunia besar mereka. Dan itu sah-sah saja, toh manusia juga dibekali dengan berbagai potensi dan bakat yang beraneka ragamnya.

Sementara dunia jurnalistik sendiri; pers, wartawan, koran, media, adalah sebagian kecil dari dunia-dunia kecil yang ternyata mempunyai akar sejarah yang sangat panjang. Maka bagi siapa saja yang memang benar-benar tertarik untuk memasuki dunia jurnalistik atau pers -yang kata sebagian besar pelakunya disebut dunia tanpa koma-, maka yang dibutuhkan adalah niat yang kuat, kerja keras, stamina yang prima, juga latihan dan belajar yang tak berkesudahan. Dan yang lebih penting lagi –menurut opini penulis-, bahwa apapun yang telah kita lakoni dalam episode kehidupan kita seyogyanya agar selalu dibarengi dengan niat yang benar. Setiap tulisan hakekatnya mempunyai ruh. Entah ia berbentuk apa, namun bagi seorang muslim, ruh sebuah tulisan itu ada dan terletak pada kejujuran dan keihklasan dalam proses menulis. Menulis untuk berdakwah. Menulis untuk transformasi ilmu. Menulis untuk berbagi informasi positif kepada sesama. Selamat menulis, selamat memasuki dunia tanpa koma, tanpa jeda. Sebab kalau rotasi bumi berjeda, maka kiamatlah sudah. Lalu, appa kata duniaa…??.[]

Catatan:
*) Materi ini disampaikan dalam acara Up-Grading Kru Buletin Prestasi Kelompok Studi Walisongo (KSW) di Griya Jawa Tengah pada hari Ahad, 7 Oktober 2007.

[1] ASM. Romli, makalah pada diklat menulis di Quadrant Writing Institute, Universitas Kebangsaan (UK) Bandung, April 2007.
[2] Disarikan dari makalah Dian Amalia; “Pengantar Ilmu Jurnalistik”, 26 April 2007.
[3] Data diperoleh dari situs Pikiran Rakyat.
[4] Dicuplik dari artikel Tim RESEARCH & DEVELOPMENT DIVISION SADSONIC LABS MANAGEMENT 2006.

Nb: Tulisan ini juga disarikan dari berbagai sumber lainnya.
Baca Selengkapnya...!