Bengkel Karya SMART

Selasa, 14 Oktober 2008
Berguru Pada Alam
Oleh: Ahmad Muhammad

Alam yang kita pijak ini merupakan suatu anugerah tak terhingga yang diberikan Tuhan kepada kita. Disamping memberikan segala yang kita butuhkan untuk hidup, seperti air, udara, tanah, alam juga mengajari kita banyak hal tentang hidup dan kehidupan. Banyak sekali pelajaran yang diberikan alam kepada kita jika kita memberikan sedikit waktu untuk melakukan perenungan. Alam mengajak kita untuk belajar kehidupan setiap saat, dan memberikan pelajaran kepada kita dengan bekerja tanpa banyak komentar apalagi interupsi.

Dari alam juga, banyak para tokoh yang mendapatkan inspirasinya dari sana. Sir Isaac Newton, ilmuwan besar penemu teori gravitasi menemukan teorinya itu terinspirasi dari buah apel yang jatuh mengenai kepalanya. Atau pernahkah anda mendengar ungkapan ‘Eureka’? Ungkapan yang sangat masyhur hingga sekarang itu berasal dari bibir Archimedes, orang pintar dari Yunani. Ungkapan itu meluncur ketika ia berhasil menemukan hukum hidrostatika yang terkenal itu, jika sebuah benda dimasukkan ke dalam air, maka air akan dipindahkan (tumpah) sebesar volume benda yang dimasukkan tersebut. Konon hukum itu ia temukan ketika berendam di bak mandi dan mengamati air dalam bak yang sebelumnya terisi penuh meluap tumpah ketika ia masuk kedalam bak tersebut.

Abul Anbiya’, Ibrahim as dalam pengembaraannya mencari Tuhan juga belajar melalui alam. Ibrahim menganggap bulan adalah tuhannya karena memberi penerang di tengah kegelapan. Namun ketika pagi datang kemudian matahari muncul dengan sinarnya yang lebih terang benderang, kesimpulan Ibrahim pada bulan berubah, kemudian menganggap mataharilah Tuhan yang maha besar itu.
Apa yang diharapkan Ibrahim pada matahari ternyata tidak memberi kepuasan batinnya tentang tuhan. Sebab ketika senja datang menenggelamkan matahari keperaduannya, Ibrahim pun berfikir mustahil tuhan menghilang. Masa-masa pencarian tuhan ini membawa Ibrahim pada pergulatan pemikiran yang sangat panjang. Sehingga sampai ia pada suatu kesimpulan bahwa apa yang dilihatnya itu adalah benda-benda yang memiliki pencipta (khalik) yang tak bisa dilihat, tak bisa digambarkan bentuknya, namun bisa dirasakan keberadaannya. Pencipta (Tuhan) inilah yang menjadi tujuan pencarian Ibrahim. Tuhanlah yang menciptakan alam yang luas dan permai ini.


Ketika menengadah keatas langit, perhatikanlah matahari, ia adalah symbol keadilan dan kasih sayang. Ia memberikan terangnya kepada seluruh manusia, tak peduli jahat atau baik, muslim atau non muslim, kaya atau miskin, semuanya mendapatkan sinar yang sama. Ia juga mengasihi makhluk Tuhan lainnya. Membantu terjadinya proses fotosintesis pada tumbuhan, membantu mempertemukan serbuk sari dan putik pada bunga, menjadikan dirinya pertanda bagi proses migrasi burung. Matahari juga dengan bijaknya selalu setia melaksanakan tugasnya dengan baik, terbit setiap pagi dan kembali ke peraduan pada sore hari. Tanpa protes tanpa keluhan.

Kita juga bisa belajar dari lebah, yang senantiasa bergandeng tangan bahu membahu menghasilkan sesuatu yang manis, bermanfaat bagi orang lain. Bekerja dengan hati yang riang dan semangat membara demi memberikan yang terbaik untuk orang lain.

Dari penguin, kita bisa belajar ketabahan dan pengorbanan. Pejantan penguin bersedia mengerami telur-telurnya di saat badai es dengan ganasnya menyerang, dengan setia ia menjaga bakal penerusnya itu dengan meletakkannya di atas kakinya, diam bergeming, walaupun ia harus menahan lapar dan haus sampai 4 bulan lamanya. Suatu pengorbanan luar biasa sampai-sampai tidak mempedulikan dirinya sendiri.

Bila kita melemparkan pandangan ke lautan yang luas dan tenang, kita bisa petik pelajaran tentang kerendahan hati dan ketenangan. Semua air dari dunia ini, baik itu air comberan, air sungai, atau air limbah yang membawa penyakit semuanya bermuara dan bertemu di laut. Semuanya hidup rukun dan damai menjadi satu. Sementara sang laut mengayomi mereka semua dan rela menjadikan dirinya asin sebagai penawar bagi penyakit dan kotoran yang dibawa oleh mereka. Semua air menuju ke laut dan laut dengan setia selalu menerimanya. Sebagai pelajaran, orang yang merendah dan berlapang dada selalu diterima dan dicintai semua orang, lain halnya dengan orang yang tinggi hati, orang segan mendekat, jurangnya dalam dan tak semua orang mampu untuk menggapainya.

Dari makhluk Tuhan lain yang katanya tak berakal ini, banyak sekali pelajaran yang dapat kita petik buahnya. Seekor salmon yang mengajarkan pengorbanan sehingga ia mampu menempuh perjalanan bermil-mil jauhnya hanya untuk melestarikan keturunannya. Hujan yang turun ke bumi kehadirannya sangat dinantikan untuk menyejukkan alam yang kering, membasahi bumi dan memberikan kehidupan pada makhluk yang lain, mengajarkan agar selalu melihat ke ‘bawah’ agar bermanfaat kepada yang lain. Dari pohon bambu kita bisa belajar akan ketegaran dan dan keluwesan, sekencang apapun angin yang meniupnya bambu selalu bisa berdiri dan tegak kembali, sedahsyat apapun ujian yang kita hadapi hendaknya selalu berusaha untuk bangkit kembali. Semut kecil yang biasanya kita acuhkan, ternyata juga mencontohkan arti indahnya kerja keras dan gotong royong. Saling tolong saling bantu demi tercapainya tujuan bersama.

“Jadikanlah alam gurumu”, seru William Wordsworth suatu kali. Lewat puisi-puisinya penyair kawakan Inggris yang tenar pada pertengahan tahun 1800-an itu mengingatkan kita agar tak segan berguru pada alam. Imam Al Ghazali berkata, "Berjalanlah kamu di atas dunia ini, maka banyak yang akan kamu lihat". Masih banyak lagi hal lain yang mungkin bisa kita petik pelajaran dari alam. Itu hanya setitik contoh dari lautan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh alam. Dan sekali lagi kita sebagai manusia harus bersyukur. Kita harus berpikir seribu kali atau mungkin berjuta-juta kali atau mungkin seribu juta kali untuk membiarkan alam yang kita tinggali ini rusak oleh tangan kita sendiri. Masih banyak sekali "misteri" di alam kita yang belum kita ketahui. Untuk itu kita harus berusaha memulai dari diri kita sendiri, untuk menjaga agar alam yang kita tinggali ini tidak rusak oleh tangan kita sendiri.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS : Ali Imran 190-191)

Ahmad Muhammad
Kairo, setelah menonton “Planet Animal”
Baca Selengkapnya...!

Bengkel Karya SMART

Sabtu, 11 Oktober 2008
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Sobat PENA yang satu ini, Didi Suardi, menulis pengalaman pribadinya saat pertama kali datang ke Mesir. Bagaimana tegangnya, dan apa yang ia rasakan saat itu? Mari kita ikuti kisahnya.

Terdiam, Menunggu dalam Kekosongan
Oleh: Didi Suardi

Sebuah pengalaman yang menarik bagi penulis, dan sampai hari ini bayangan itu selalu dijadikan sebagai pijakan, motivasi dan pendorong buat saya peribadi. Mungkin kisah kecil ini tidak asing lagi di benak dan telinga kita. Bahkan ada sebagian diantara kita yang pernah mengalami apa yang penulis alami. Ada yang menganggap itu hal yang biasa atau lumrah tapi ada yang mengatakan itu justru menjadi antisipasi sekligus peringatan bagi kita khususnya sebagei pelajar mahasiswa. Plus Azhariyan.

Kami tidak akan menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini. Tapi ini lebih di titik beratkan pada diri kami. Kami lah yang menjalani dan kami pula yang harus menanggung resikonya. Situasi dan kondisi bukan lah segala penyebab mundur dan majunya seseorang rosib dan tidaknya sebuah kenajahan. Itu semua bukan sebuah alasan tapi yang menentukan adalah usaha kita. Sejauh mana kita berusaha dan bersungguh-sungguh serta tak boleh menafikan satu hal yaitu berdoa. Maka Insya Allah kita akan memetik hasilnya.

Kata orang kesuskesan itu selalu indentik dengan ujian dan kerja keras. Jadi kalau kita mau menjadi orang yang benar-benar suskses? Baik itu sukses di dunia maupun di akhirat. Jelas kita harus mengikuti arurannya. Sampai orang kaya pun pasti memiliki langkah-langkah atau tahapan-tahapan dimana untuk menjadikan ia kaya. Begitupun dengan kesuksesan.

Nah pada kisah kali ini penulis ingin mengutarakan sekelumit kisah yang menurut saya pribadi, kisah yang sangat berperan penting dalam sebuah kehidupan. Mudah-mudahan saja ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Ya! Ketika kami sampai di Negri yang dijuluki sebagai negri seribu menara ini. Sampailah saya dan teman-teman saya di rumah yang telah sediakan oleh broker kami. Alhamdulillah waktu itu kami baik-baik saja dan belum ada masalah apa-apa. Kurang lebih satu bulan hasil muqoyyad pun turun. Setelah kami mengecek ternyata muqoyyad kami bukan di Kairo melainkan di Tonto. Kami pun konfirmasi sama para senior untuk men-Tahwilkan kami dari Tonto ke Kairo. Apa pun resikonya dan mereka mau mengusahkannya.

Berangkat lah kami ke daerah sambil membawa berkas-berkasnya. Alhamdulillah ternyata semuanya berjalan dengan lancar. Tinggal menunggu hasih muqoyyad-nya. Kini kami sudah sudah bisa memastikan bahwa kami bisa kuliyah di Kairo. Kurang lebih satu bulan kami menunggu hasih muqoyyad-nya tapi tak kunjung turun juga. Kami khawatir sambil berharap-harap cemas. Munginkah kami keterima? Atau kah kami terpaksa kuliyah di daerah? Dan yang paling kami khawatirkan lagi, kami tidak masuk keduanya. Ditambah lagi kami belum sempat membeli buku diktat kuliyah. Saat itu kami bingung mana yang harus kami beli. Buku muqoror kuliyah kairo atau buku muqorrar Tanta.

Kini ujian tinggal kurang dari satu bulan lagi tapi muqoyyad belum turun juga. Kami semakin panik waktu itu, dengan perasaan yang sedikit terpaksa kami memutuskan untuk membeli buku diktat kuliath Kairo. Apa pun resikonya. Tapi ketika kami membeli ternyata sebagian dari muqararranya sudah pada habis. Cuma dua yang kami dapat.

Beberapa hari berikutanya muqoyyad-nya pun turun. Kami muqoyyad di kairo. Akhirnaya kami mulai untuk mengejer keteringgalan kami. Tapi tetap saja tidak bisa. Yang menurut hitungan jari ujian akan dimulai sebentar lagi.

Mungkin ini lah letak kesalahan kami kenapa kami tidak segera mengambil keputusan tanpa harus menunggu terlalu lama. Sampai akhirnya hampir menghabiskan waktu terlalu lama. Hanya dua kitab yang dapat kami seleseikan itu pun dengan bantuan bimbingan para senior. Sedangakan buku muqarrar yang selebihnya kami pinjam dari mereka tak sempat kami baca. Ujian termin petama al-Azhar kini suadah dimulai bagi yang Ushuludin dan Syariah hari berikutnya.

Saat kami menjalani ujian di al-Azhar, sudah sangat kerepotan sekali dari mulai cara belajarnya sampai dengan mengisi lembar jawabannya. Kalau hanya berbahasa Indonesia paling tidak kita bisa mengarang sedikit-sedikit tapi semuanya ini harus menggunakan tulisan Arab. Dua…tiga… mata kuliyah sudah kami lalui. Tinggal mata kuliyah yang ke-empat. Disini baru kami mengalami kendala dengan tuan tumah. Mereka menginginkan agar kami segera pindah dari rumah dengan alasan terlalu banyak yang tinggal dirumah itu. Perjanjian tuan rumah dan broker kami, rumah itu hanya boleh di tempati tak lebih dari 4 orang. Sedangkan kami semuanya ada 6 orang. Sebenarnya kami tidak tahu kalau ada peratursan seperti itu. Yang kami tau rumah itu disewakan untuk kami dengan harga yang telah disepakati.

Akhirnya dengan terpaksa kami harus pindah. Dia memberi kesempatan tiga hari. Kalau saja kami belum pindah mereka akan berlaku lebih dari hanya sekedar kata-kata. Dengan waktu yang sangat sedikit sekali, saya dan teman-teman serta dibantu juga oleh para senior segera mencari tempat tinggal baru. Tapi selama tiga hari itu pula kami belum mendapatkan rumah sama sekali. Sampai akhirnya kami menumpang di rumah teman-teman untuk semantara waktu.

Ujian yang tinggal satu kali lagi membuat kondisi kami berubah total, Belajar pun kadang kami lakukan di sembarang tempat. Yang penting buat kami bisa belajar.

Hampir pas satu bulan kami pun dapat rumah sewaan baru. Hari itu pula kami langsung bersiap-siap untuk pindah. Dan alhamdulillah kami bisa belajar dengan tenang.

Menurut kami, ini memang pengalaman yang pahit. Tapi ini mudah-mudahan bisa di buat pelajaran. Di samping itu pula, ini dapat mendidik kita untuk lebih giat dan rajin mundur serta melatih kesabaran juga. Walhamdulillahi Robil’alamin.

Game’ 09 September 2008

Baca Selengkapnya...!

Bengkel Karya SMART

Jumat, 10 Oktober 2008
Satu lagi cerpen karya sobat PENA. Buat para perokok, penting dan perlu untuk dibaca. Applause dulu deh, buat Said. Buat sobat-sobat penulis lainnya. Ditunggu karya-karyanya. Take care!

Free Smoke Area
Oleh: Nur Said

Tidak kusangka salah satu benda kesayanganku jadi pemicu masalah antara aku dan Dhina. Benda itu bukan motor Tiger unguku, celana belel atau miniatur-miniatur Mercy-ku. Benda itu murah, gampang didapat, dan selama ini tidak pernah absen menemaniku. Benda itu rokok.

Aku lupa bagaimana awalnya sampai Dhina begitu sensitif tentang ini. Bayangkan! Aku yang biasanya menghabiskan satu pak sehari dipaksanya berhenti. Itu namanya penyiksaan!

"Terserah kamu Mas. Pokoknya aku nggak betah ngobrol sama orang yang bau rokok. Apalagi dengan santainya merokok di depanku."

"Tapi Dhi, kamu dulu nggak pernah komplain soal rokok."
"Itu sebelum aku tahu gimana hebatnya benda jelek itu ngerusak tubuh kita."
Ah, dia nggak tahu sih nikmatnya mengisap lintingan tembakau itu.
"Aku akan sangat senang kalau kamu mau berhenti sedikit demi sedikit."
"Susah, Dhi…"
"Kamu belum nyoba."
"Sudah."
"Bohong!"

Aduh, ketus sekali dia. Coba kalau aku nggak sayang…"Dhi, aku kan punya hak untuk merokok." Aku berusaha merajuk. Dia tersenyum.
"Dan aku punya hak untuk menghirup udara yang bebas asap rokok." Dhina menatapku.

"Mas, di dunia ini ada banyak sekali orang macam kamu. Apa jadinya bumi ini kalau generasinya pada kecanduan rokok? Aku ingin mengubah hal itu. Kamu bantu dong!"

Aku mendengus sebal. "Sok idealis."
"Mas, gimana aku ngajak anak-anak kampus sementara cowokku sendiri perokok berat?"
Huh. Tadi sok tegas, sekarang mulai keluar manjanya. "Tauk. Aku ke kantin dulu. Lapar."
Kuseret kakiku asal-asalan. Meninggalkannya yang pasti sedang gondok kuadrat.
***
Semua berawal saat dia bergabung dalam Solidaritas Perokok Pasif, perkumpulan yang terbentuk setelah seminar tentang rokok dan dampak-dampaknya digelar di kampus beberapa bulan lalu. Sejak itu, hari-hari Dhina dipenuhi rapat-rapat penyusunan program pemasyarakatan lingkungan bebas rokok di kampus. Aku yang mengantar dan menjemputnya. Waktu itu dia belum terlalu cerewet. Tapi setelah kudengar mereka akan mengadakan kampanye antirokok, Dhina jadi superekstrem.

***
"Dhi, kalau kamu benar sayang aku, kamu terima aku apa adanya dong. Yang ada adalah Mas Said yang suka merokok."
Esok malamnya setelah pertengkaran itu, aku coba berbaikan.
"Kamu bau rokok!"
"Ya ampun Dhi, kamu keterlaluan!"
"Mas, kalau kamu tetap seperti ini, paru-parumu bisa bolong. Kamu bisa kena kanker, belum lagi…"
"Nggak usah dijelasin aku juga udah tahu."
"Kalau begitu kamu bego banget. Udah tahu tapi sok gengsi nggak mau berhenti."

Ugh, menyebalkan! Kuambil rokokku lalu kunyalakan. Di depannya. Tidak mengacuhkan tulisan besar di dinding teras: Free Smoke Area. Tapi belum sempat menyala, direbutnya rokok itu lalu dibuangnya. Kuambil rokok kedua. Dhina merebutnya lagi. Rokok ketiga, lagi-lagi dirampasnya. Rokok keempat, hei, dia membiarkannya. Aku menang!

"Kamu pulang aja deh," ucapnya ketus.
Tanpa menunggu reaksiku, dia masuk rumah dengan membanting pintu. Rokok tidak jadi kuisap. Aku memandanginya lalu membuangnya bersama-sama tiga rokok sebelumnya. Kurasa aku kalah.
***

Dhina belum juga menghubungiku. Padahal aku yakin dia akan menyerah dan minta maaf. Aku sendiri berat hati untuk meninggalkan rokokku tersayang.

Kampanye sudah mulai berjalan. Poster, karikatur, dan spanduk menghiasi kampus. Sebal aku melihatnya. Tapi mereka berhak melakukan itu. Dan aku berhak merokok.

Akhir minggu ini, parade band plus basar dilangsungkan. Bodoh. Mana ada anak band bersih rokok? Dan sekarang justru band yang dipakai sebagai alat kampanye.

Aku sengaja singgah di stan Dhina. Kulihat ada buku-buku yang 100 % menghina rokok. Kucomot satu. Kulihat judulnya. Tentang orang-orang yang kencanduan rokok tapi berhasil keluar dari ketergantungannya.

Kulirik Dhina. Dia sibuk menjelaskan pada pengunjung hal-hal yang sebetulnya sudah jelas. Dia tidak melihatku atau pura-pura tidak melihatku?

"Mulai tertarik nih?" Akhirnya dia menyapa.
"Nggak juga. Aku kangen sama yang jaga stan," godaku.
"Kamu sial Mas. Karena penjaga stan ini ingin memberimu buku itu cuma-cuma." Dhina menunjuk buku di tanganku.
"Nggak tertarik." Kuletakkan buku itu.
"Sudah kubilang, buku itu buat kamu. Terserah mau kamu apain."
Ah, senyum menyebalkan itu lagi. Sebelum kepalaku meledak, aku pergi dari sana.
"Hai Mas!"
"Hei, Fer. Ngeband?"
"Yoi. Aku gabung band baru. Bandku bintang tamu di sini."
"Hebat," pujiku. Nggak heran sih. Fery jago main berbagai alat musik. Terutama gitar. Aku pernah dikalahkannya pada festival band waktu SLTA dulu.
"Buku apaan?"
"Eh, bukan punyaku." Cepat-cepat kukibaskan buku itu. Kalau Fery melihat judulnya, bisa malu aku.
"Wah, buku bagus tuh. Aku berhenti merokok juga dibantu buku itu."
Ha? Aku ternganga. Fery yang ngajarin aku merokok dan sampai terakhir ketemu, waktu festival band, levelnya jauh di atasku. Dan sekarang dia bilang sudah berhenti?
"Berhenti?"
"Sama sekali. Memang butuh waktu dan pengorbanan. Kamu sendiri?"
"Masih. Kenapa berhenti Fer?"
"Kita tahu jeleknya rokok. Dulu aku sebal waktu disuruh berhenti. Tapi setelah aku ke dokter dan tahu kalau paru-paruku sudah mirip permukaan bulan, aku ngeri. Bahkan dokter bilang aku bisa kehilangan kakiku kalau aku masih bandel. Aku menyerah."

Aku terdiam. Dampak-dampak itu aku sudah tahu. Sebenarnya apa yang membuatku enggan berhenti? Gengsi?

"Paling susah kalau ngumpul teman-teman. Tapi lambat laun mereka mendukung juga. Aku siap-siap dulu Mas. Sebentar lagi giliranku."

Aku tersenyum. Kubuka buku dari Dhina. Kubaca sedikit dan aku tidak menyangka kalau aku tertarik. Ah, aku kok jadi ingin mencoba berhenti ya?

***
Dhina kelihatan capek. "Sudah mau pulang?"
"Mau nganter?"
"Yap."
"Kubereskan ini dulu."
"Kubantu." Dhina tersenyum. Dia masih manis meski terlihat kuyu.
"Dhi, bukunya oke. Buku sialan itu berhasil mempengaruhi aku." Kucoba mencairkan suasana.
Senyum terulas di wajah Dhina.
"Jangan diam aja dong."
"Aku senang begomu sudah hilang."
Cewek ini tangguh benar. "Aku sadar nggak ada alasan terus menjalani kebiasaan buruk ini."
"Dari dulu juga begitu."
"Yang romantis dikit dong Dhi."
"Oke, pacarku sayang. Aku seneeeng banget kamu mau coba berhenti merokok."
"Tapi nggak sekaligus lho."
"Iya aku tahu. Kurangi sedikit demi sedikit. Aku bakal jadi pengawas yang galak. Mas, anggap ini sebuah kontes."
Aku mengernyitkan dahi.
"Bisa berhenti berarti menang."
"Hadiahnya?"
"Tentu saja kamu jadi sehat?"
"Itu saja?" tanyaku nakal.
"Hatiku, itu grand prize-nya."
"Jadi selama ini kamu belum memberi hatimu?"
"Belum semuanya." Dia tertawa menang. Tapi aku senang karena akan kumenangkan hatinya.
"Dhi, Mas sayang Dhi."
Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin, dan…perang dengan yayang!

Baca Selengkapnya...!

Bengkel Karya SMART

Rabu, 08 Oktober 2008
Salam, Sobat penulis semua. Apa kabar? Dear. Kali ini sahabati kita, Maramita elfani, mengajak kita untuk kembali merenung. Apakah segala tindak-tanduk kita, telah didasarkan pada niat yang benar. Oleh karena Allah kah? Uang kah? Perhatian kah? Cinta kah? Prestise kah? Atau... apa? Mari kita simak bersama!

Sulit mendeteksi "Lillah"
Oleh: Maramita Elfani

Ah, apa itu Lillahita’ala???
Karena Allah?
Hanya untuk Allah?
Hemm, mungkin saja seperti itu.

Bukan hal yang sulit untuk mengatakan, “aku melakukan semua ini lillahita’ala”, “aku beribadah lillahita’ala”, “aku beramal lillahita’ala”. Bahkan, “aku mencintaimu lillah”. Ah, bagiku terlalu mudah untuk sekedar mengeluarkan kata-kata itu dari mulut manusia.

Seandainya kata-kata itu bisa dijual. Mungkin saja akan ada berjuta-juta orang yang akan membelinya. Tidak menutup kemungkinan para manusia itu akan menumpuknya sebagai stok untuk di jadikan simbol dalam mengiringi segala tingkah lakunya.

Aku tidak yakin “lillah” itu banyak termiliki oleh makhluk yang bernama manusia. Terlalu banyak hal dalam sesuatu. “Lillah” dan “tendensi” itu berbanding begitu tipis. Banyak orang yang mengecoh dan terkecoh dengannya. Yah, sekali lagi hanya simbol. Dan itu semua bullshit!.
Teramat sulit melakukan sesuatu hanya untuk-Nya. SANGAT!!!

Banyak tedensi yang berdiri tegak dengan kemilauan cahaya fananya. Dan sayangnya, sering kita terlelap dengannya, tak sadar!

Hanya kalangan elitis --di hadapan-Nya-- lah yang mampu melakukannya. Dan sekali lagi, sangat sulit terdeteksi. Orang-orang tertentu, pilihan, dan hamba ideal yang di inginkan-Nya lah yang mungkin bisa sampai pada tahap itu.

Barometer “Lillah”, bukanlah ikhlas dhohiri yang hanya terlacak via asumsi mata yang melihatnya. Tidak menutup kemungkinan memang, namun ibarat data, validitasnya perlu di pertanyakan. Bukankah don’t judge anything by the cover? Kecantikan cover bisa direkayasa oleh layouternya. Dan mungkin itulah yang sering kita lakukan dalam lelap kita. Tanpa ada khudlur dengannya, namun sebaliknya, dalam kondisi yang futhur.

Lillah, perlu dzauq. Lillah perlu ikhlas internal. Lillah perlu khudur. Lillah tak kenal tendensi, obsesi apalagi ambisi. Lillah hanya bisa di ketahui oleh dua pihak, dia dan Dia.

Mungkin saja dalam lelapku aku mengatakan, “Aku ingin bershadaqah lillah”. Yap, mungkin saja seorang aku benar-benar lillah. Tapi, tidak menutup kemungkinan seorang aku sedang lupa begitu saja dengan konsekuensi yang di harapkan oleh nuraniku. Dengan mencoba untuk tidak menyadari bahwa aku memang menginginkan sebuah pujian. Atau mungkin saja balasan dari manusia yang lain. Atau bahkan demi sebuah nama baik. Atau bahkan surga. Hmm…lalu itukah lillah?

Atau bahkan saat seseorang mengatakan “Aku mencintaimu lillah”. apa itu?
Yakin cinta itu lillah? Sebentar, tak perlu sebuah jawaban sepertinya. Untuk satu statemen ini, agaknya perlu seribu pertanyaan untuk mengambil sebuah kesimpulan.

Lalu atas dasar apa seseorang mencintai?

Menginginkan?

Ambisi?

Kepentingan?

Nafsu?

Prestise?

Atau apa?

Bahkan dengan seorang teman. Misalnya saja, seorang aku mencintai seorang sahabat. Bukan hal yang sulit untuk mengatakan semua itu hanya untuk-Nya. Hanya saja, terkadang seorang aku lupa atas sebuah kepentingan. Mungkin aku menyukainya karena dia pandai, ramah dan baik bagi seorang aku. Dengan sahabat itu, dia bisa melakukan apa yang dia inginkan. Sahabat itu mampu mendukung seorang aku untuk mencapai idealismenya. Atau bahkan seorang aku hanya merasa lebih nyaman bersamanya. Tidak ingatkah bahwa semua itu masih berbalut warna putihnya sebuah kepentingan?
Ah…lalu itukah lillah?

Aku tak ingin menodai kata itu. Lillah adalah lillah.
Tak ada kata yang patut untuk mendeskripsikannya. Terlalu suci dan sakral.

Lillah tak mengenal hijab antara dia dan Dia.

Tak ada tendensi apapun…

Yah hanya Lillah

Dan itu sangat SULIT

Wallahua’lam

Akupun tak tahu bagaimana cara melakukannya

Rabbi, tunjuki kami
Hanya jangan keluarkan kami dari koridormu
Bantu kami mencintai-Mu
Bukankah cintaMu kepada kami lebih besar dari pada cinta kita untuk-Mu?
Rabbi…

Maafkan kami

El_Funny
0400808 =>02:45
Baca Selengkapnya...!