Bengkel Karya SMART

Rabu, 03 September 2008
KSATRIA GREYSTONE [Bag. 1]
Oleh: Abid Abdul Mun'im

Kabut tipis menyelimuti rawa Greystone, merembes sampai ke celah-celah bebatuan granit. Dingin dan senyap. Hewan-hewan nokturnal mulai keluar dari sarangnya. Seekor viper (ular derik) merayap diantara akar konifer, disalah satu cabang pohon jenis pinus tersebut bertengger masked owl (jenis burung hantu). Pupil matanya berkilap memantulkan cahaya bulan. Jika membaca gerak tubuhnya jelas sekali ia sedang membidik sasaran, seekor cecurut yang sedang melahap cacing tanah.

Cahaya redup-terang silih berganti menyeruak dari rekahan gundukan tanah di sela-sela rumput liar yang kini mulai menguning. Mendekat lebih dalam terdengar bunyi musik diiringi derik trio jangkrik menghasilkan bentuk irama orkestral yang unik. Kumbang menari bersama beberapa serangga air. Lebah madu menuangkan royal jelly kedalam gelas dari kelopak bunga, Julus si kaki seribu mengitari area pesta, hentakan kaki-kakinya menambah riuh suasana, dipunggungnya anak-anak semut bersorak kegirangan. Tictus si kutu memainkan sulapnya. Kunang-kunang bergelantungan diatas panggung, sebagian menari membentuk aneka ragam formasi, menyinari balairung luas milik Antius Alpha, Jenderal tertinggi tentara semut dari klan Red Ants.

Malam ini adalah perayaan kemenangan sebuah perang besar, sedikit dibandingkan dengan kekalahan-kekalahan dibanyak medan pertempuran lain. Merayakan sebuah kesuksesan menahan agresi diktator Nassutz Termitius, pemimpin bangsa rayap dari koloni Subterranean Termite yang telah dua kali berusaha menguasai Chameleon Base, salah satu kota garnisun milik klan Red Ants. terletak dibagian barat Greystone.

Seekor perwira semut tiba-tiba berdiri, tubuhnya sudah tidak lengkap lagi. Tangan kanan dan sebelah sungutnya putus. Ia ingin menceritakan bagaimana pasukannya mengalahkan legiun musuh.

Setelah memperkenalkan diri, mulailah ia bercerita.

“Ketika itu di hutan rumput, Gramini, sudah lima hari kontak kami terputus dengan komando utama”, sang perwira membuka kisah, suaranya parau. Berikutnya ia melanjutkan.

Pagi yang dingin hingga sanggup membekukan ujung sungutmu. Kabut mengembun, berkumpul dan menempel di badan, membuat kondisi kian mencekam. aku bahkan tak dapat lagi merasakan tanganku yang sedang menggenggam tongkat komando. Ransum makanan mulai menipis, pasukan terlihat kelelahan. Namun misi kami sudah jelas. Memotong jalur logistik musuh.

Aku menunjuk seekor prajurit muda untuk melakukan scouting, mengumpulkan informasi kondisi medan, posisi dan jumlah kekuatan musuh. Setelah menerima instruksiku iapun keluar dari balik rumpun.

Dua jam berlalu, prajurit itu belum kembali. Aku mulai khawatir. Efesiensi pasukan sangat penting bagiku. Pasukan kami cuma 1 unit Peltarion, berfungsi sebagai skirmisher (penahan serangan musuh), 2 unit pasukan pemanah (semut bersayap pembawa misil/racun) serta 1 unit pasukan utama, Phalanx, pendobrak. Maka kuputuskan dua prajurit untuk menjemput si mata-mata.

Matahari telah condong ke barat, tatkala ketiga prajurit kembali. Seluruh komandan pasukan sudah berkumpul menunggu pengarahanku. Seekor prajurit melaporkan saat ini pasukan musuh sedang melintasi rute yang biasa dilalui pedagang antar klan serangga, artinya malam ini mereka akan melewati tepi lembah pasir, atau setidaknya berkemah didekat lembah tersebut.

Ia melanjutkan laporannya bahwa kekuatan musuh terdiri dari 4 unit Elite Nasute, 2 unit Peltash (peltarion) yang mengawal 20 kumbang badak pengangkut ransum dan obat-obatan, serta pekerja konstruksi dan paramedik. Kalau dihitung secara statistik pasukan mereka sungguh lebih unggul secara persenjataan dan pengalaman perang dibanding kekuatan kami. Selain itu Nassutz Termitius sangat licik, biasanya para pekerja konstruksi dan paramedis dipersenjatainya dan memperoleh pelatihan militer, menjadikan mereka memiliki fungsi ganda. Dimata Lord Nassutz, para pekerja adalah prajurit, Hoplite.

Melakukan serangan frontal sekaligus tidak akan berguna. Maka kami harus memanfaatkan topologi dan kondisi alam yang ada. Aku menyadari bahwa tugasku hanya menghambat dan memotong jalur logistik, bukan menghancurkan pasukan musuh.

Para perwira berdebat mengenai strategi yang akan dipakai, sebagian menginginkan pertarungan konvensional, all out. Tetapi aku memutuskan penyerangan dengan taktik hit and run saja. Karena pasukan kami yang terbatas diperparah dengan moral yang menurun lantaran ransum yang menipis. Penyergapan dilakukan malam ini dengan tigaperempat kekuatan. Tujuannya untuk mengetahui kekuatan lawan dan merampas sebagian ransum, sekaligus demoralisasi pasukan musuh.

Setelah briefing singkat dan penentuan posisi, pasukan mulai bergerak kearah bukit diatas perkemahan musuh. Dengan aba-aba dariku setengah dari Phalanx yang jumlah perunitnya seratus delapanpuluh prajurit itu merangsek ke perkemahan musuh. Gelombang kedua, pasukan pemanah menyerbu masuk mengangkut ransum-ransum makanan, sementara Peltarion menahan pasukan musuh yang mulai menyusun kekuatan. Pasukan pekerja konstruksi lari tunggang-langgang. Sedetik kemudian terompet tanda penarikan mundur pasukan membahana, memecah kepanikan. Para penyergap kembali kekegelapan rimbunan hutan Gramini.

Pasukan berhasil keluar dari medan pertempuran dengan luka-luka yang tidak seberapa. Kerugian dipihak musuh terlihat jelas, beberapa kumbang pengangkut terjebak kedalam pasir. Penyergapan ini merupakan terapi kejut yang menggoyahkan semangat dan moral musuh. Sebuah kesuksesan yang gemilang.

Barikade disekitar perkemahan musuh telah dibangun. Taktik gerilya ini tak bisa diterapkan sekali lagi. Musuh pasti sudah membacanya. Barikade tersebut memang efektif menahan serangan bergaya ‘serang lalu kabur’ seperti yang kulakukan malam tadi. Kali ini aku harus menemukan titik kelemahan mereka, segera.

Kuperhatikan ternyata pasir merupakan musuh alami serangga bertubuh tambun dengan kaki-kaki yang ramping. Sifat ‘renyah’ pasir membuat gerakan mereka menjadi lamban sehingga rawan terhadap serangan. Pertanyaannya, bagaimana membuat kumbang-kumbang badak itu terjebak dalam lembah pasir, sementara pasukan elit musuh masih sangat kuat?

Terus terang, aku tidak suka berurusan dengan Elite Nasute yang terkenal kejam itu. Ditambah lagi penglima mereka adalah yang bertanggungjawab ‘menyapu’ kota Karang Kecil diutara Greystone tahun lalu. Mayor Predatius Mandibyle.

Sedangkan aku adalah perwira ‘karbitan’ yang memperoleh kenaikan pangkat luar biasa ketika menyelamatkan setengah penduduk kota Karang Kecil dari aneksasi sang mayor.

Tak bisa kubayangkan keberingasan tentara Mandibyle saat memasuki kota. Ia mengelompokkan penduduk menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, penduduk non semut. Kelompok kedua, semut pekerja, betina dan anak-anak (larva). Kelompok ketiga, semut prajurit dan bangsawan, termasuk ratu.

Sangat terang dalam ingatanku tatkala sang mayor menggiring kelompok ketiga dalam sebuah lubang maut, sarang para Wasp, termasuk klan tawon penyengat paling biadab. Ratu semut yang sudah terluka parah diseret dengan taring-taring mereka yang kotor, dijebloskan dengan paksa kedalam lubang gelap yang sempit itu. Jeritannya menyayat hati. Kemudian satu persatu prajurit-prajurit yang tertangkap mereka lemparkan kedalamnya. Sungguh keji dan tanpa belas kasih.

Ketika aku dilemparkan kedalam sarang maut itu, aku melihat sebuah celah sempit diantara tumpukan mayat koloni bangsaku. Kupaksakan tubuh kecilku keluar. Aku tidak peduli lagi pada sungutku yang rusak. Sisa tenagaku hanya untuk satu hal. Menyelamatkan semua yang dapat diselamatkan.

Tiba-tiba ide itu memecah lamunanku, memisahkan unit tentara musuh. Unit Nasute merupakan pasukan pendobrak, jika aku dapat memancing mereka keluar dari barikade pertahanan, mungkin selanjutnya pasukan lain dapat mengatasi dua unit Peltash dan pasukan Hoplite.

Semua unit Peltarion dan Phalanx masing-masing kubagi dua, grup Alfa dan Zulu. kemudian satu unit pasukan pemanah kutempatkan pada kedua grup pasukan yang sekarang lebih ramping namun fresh dan solid.

Pagi ini grup Alfa telah berada pada jarak jangkauan panah diluar barikade. Yel-yel diteriakkan. Hujan anak panah meluncur, hampir sepertiga tentara gabungan Elite Nasute jatuh menggelepar ketika mereka mulai terintimidasi keluar dari barikade pertahanan. Seluruh Elite Nasute memburu pasukan pemanah, insting sebagai pasukan pendobrak mempengaruhi kecepatan jelajahnya yang dahsyat.

Predatius Mandibyle mengira grup Alfa adalah seluruh pasukanku. Maka ia sendiri yang memimpin perburuan ini. Sesuai kode yang kuberikan, unit Peltarion grup Zulu bergabung dengan pasukan yang sama di grup Alfa. Begitu pula dengan seluruh pasukan pemanah. Misil racun beterbangan kearah pasukan Mandibyle, sementara Peltarion menahan gerak musuh.

Phalanx memutar arah mengitari bukit. Prioritas utama adalah melumpuhkan kumbang pengangkut. Dengan manuver kilat pasukan pendobrak ini menyergap Peltash yang sedang lengah didalam barikade, terus merangsek masuk membuat kumbang-kumbang badak berlarian menjauh kearah lembah pasir. Kaki-kaki serangga gemuk itu terperosok kedalam pasir. Skak mat! Unit Hoplite dari gabungan paramedik dan pekerja konstruksi sudah mengangkat bendera putih.

Disudut lain pertempuran aku sedang bergumul dengan Elite Nasute. Belum jelas kemenangan ada dipihak siapa. Pertarungan melee alias man-to-man combat tak terelakkan. Sekarang aku berhadapan langsung dengan Mandibyle. Ukuran tubuhnya dua kali lipat tubuhku. Aku tak tahu bagaimana keluar dari dilema ini. Sejurus kemudian taringnya mencabik tangan kananku, aku hanya membutuhkan seperseribu detik kesempatan untuk menancapkan sengatku ketubuhnya. Seketika badan kekar sang mayor terjerembab. Jeritannya menggema, para nasute terpana.

Setelah aku mengkonsolidasi pasukan dan menginventarisir rampasn perang, kemudian aku kembali ke ibukota melaporkan hasil misi kami di lembah pasir.

Pertarungan memperebutkan lembah Greystone belum berakhir. Nassutz Termitius sedang menyusun strategi baru, berkoalisi dengan klan Wasp. Jika aliansi ini benar-benar terwujud, berarti kita berhadapan dengan dua kekuatan yang amat berbahaya. Sekarang kita bukan hanya membutuhkan aliansi, tetapi juga sebuah tekad yang membaja, semangat yang membara untuk bebas dari cengkraman penjajah. Sang perwira mengakhiri pengalamannya.

Kemenangan sejati bukanlah penguasaan dan perusakan atas hak individu yang lain, melainkan kemampuan menjaga keseimbangan hak dan kewajiban individu. Disini terbukti, peperangan adalah sebuah arena kekacauan yang konstan, seorang panglima pemenang adalah dia yang dapat mengendalikan kekacauan tersebut, kekacauannya dan kekacauan musuhnya. Dia yang belum pernah merasakan pahitnya sebuah kekalahan, tidak tahu bagaimana merasakan manisnya kemenangan. Sedangkan jenderal yang brilian adalah ia yang benar-benar mengenal dan mengetahui siapa musuhnya.[]

1 komentar:

Leo Kelana mengatakan...

Salam...cerita ini seperti tulisan Dan Brown. Memukau...Good.