Makalah

Rabu, 03 September 2008
Mengenal Dunia Jurnalistik;
Definisi, Sejarah dan Idealisme Seorang Jurnalis*

Diracik oleh: M. Luthfi al-Anshori

Prolog

* Menulis itu ibarat naik sepeda. Tidak ada teori dan teknik khusus yang bisa menjadikan seseorang mahir naik sepeda kecuali latihan dan “kebiasaan”.

* Menulis juga ibarat berenang. Sesering apa pun Anda membaca buku-buku atau menyimak ceramah tentang teknik berenang, Anda tidak akan bisa menjadi perenang jika tidak “nyebur” langsung di kolam renang dan berlatih.

* Writing is a prosess — Kerja intelektual yang membutuhkan keahlian khusus (writing technique), latihan, kejelian, daya nalar, wawasan, referensi, etika, waktu, dan… kesabaran.

* Communication is the Goal. The reason for putting words on paper in the first place is to communicate, to convey ideas, information, or impressions from your mind to the minds of your readers.

* Clarity is the Keynote of Good Writing. The goal of communication is clarity. What you have written has not be misunderstood.[1]

Pengertian Jurnalistik

Definisi jurnalistik sangat banyak dan beragam. Namun pada hakekatnya, definisi-definisi yang dicetuskan oleh para pakar komunikasi maupun jurnalistik itu mempunyai sebuah titik persamaan. Secara etimologi, jurnalistik (journalistic) berarti kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda journalistiek artinya “penyiaran catatan harian”.

Istilah jurnalistik erat kaitannya dengan istilah pers dan komunikasi massa. Jurnalistik adalah seperangkat atau suatu alat madia massa. Jurnalistik mempunyai fungsi sebagai pengelolaan laporan harian yang menarik minat khalayak, mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masyarakat mengenai apa saja yang terjadi di dunia. Apapun yang terjadi baik peristiwa faktual (fact) atau pendapat seseorang (opini), untuk menjadi sebuah berita kepada khalayak.

Jurnalistik adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari. Jadi jurnalistik bukan pers, bukan media massa. Menurut kamus, jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, atau berkala lainnya.

Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud dengan jurnalistik, dibawah ini adalah definisi dari para tokoh tentang jurnalistik seperti yang di rangkum oleh Kasman dalam bukunya “Jurnalisme Universal; Menelusuri Prinsip-Prinsip Da’wah Bi Al-Qalam dalam Al-Qur’an, bahwa jurnalistik adalah:

M. Djen Amar, jurnalistik adalah usaha memproduksi kata-kata dan gambar-gambar yang dihubungkan dengan proses transfer ide atau gagasan dengan bentuk suara, inilah cikal bakal makna jurnalistik sederhana. Pengertian menurut Amar juga dijelaskan oleh Sumadiria bahwa, jurnalistik adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah, dan menyebarkan berita kepada khalayak seluas-luasnya.

M. Ridwan, jurnalistik adalah suatu kepandaian praktis mengumpulkan, mengedit berita untuk pemberitaan dalam surat kabar, majalah, atau terbitan-terbitan berkala lainnya. Selain bersifat ketrampilan praktis, jurnalistik merupakan seni.

Adinegoro, jurnalistik adalah semacam kepandaian karang-mengarang yang pokoknya memberi perkabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya. Sedang menurut Summanang, mengutarakan lebih singkat lagi, jurnalistik adalah segala sesuatu yang menyangkut kewartawanan.

Erik Hodgins (Redaktur Majalah Time), jurnalistik adalah pengiriman informasi dari sini ke sana dengan benar, seksama, dan cepat, dalam rangka membela kebenaran dan keadilan.

Haris Sumadiria, pengertian secara teknis, jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.

Menurut A.Muis dan Edwin Emery yaitu; A. Muis (pakar hukum komunikasi) mengatakan bahwa definisi tentang jurnalistik cukup banyak. Namun dari definisi-definisi tersebut memiliki kesamaan secara umum. Semua definisi jurnalistik memasukan unsur media massa, penulisan berita, dan waktu yang tertentu (aktualitas). Menurut Edwin Emery juga sama mengatakan dalam jurnalistik selalu harus ada unsur kesegaran waktu (timeliness atau aktualitas). Dan Emery menambahkan bahwa seorang jurnalis memiliki dua fungsi utama. Pertama, fungsi jurnalis adalah melaporkan berita. Kedua, membuat interpretasi dan memberikan pendapat yang didasarkan pada beritanya.

Menurut Ensiklopedi Indonesia, jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari (pada hakikatnya dalam bentuk penerangan, penafsiran dan pengkajian) secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada.[2]

Sejarah Jurnalistik

Jurnalistik memiliki sejarah yang sangat panjang. Dalam situs ensiklopedia, www.questia.com tertulis, jurnalisme yang pertama kali tercatat adalah di masa kekaisaran Romawi kuno, ketika informasi harian dikirimkan dan dipasang di tempat-tempat publik untuk menginformasikan hal-hal yang berkaitan dengan isu negara dan berita lokal. Seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai mengembangkan berbagai metode untuk memublikasikan berita atau informasi.

Pada awalnya, publikasi informasi itu hanya diciptakan untuk kalangan terbatas, terutama para pejabat pemerintah. Baru pada sekira abad 17-18 surat kabar dan majalah untuk publik diterbitkan untuk pertama kalinya di wilayah Eropa Barat, Inggris, dan Amerika Serikat. Surat kabar untuk umum ini sering mendapat tentangan dan sensor dari penguasa setempat. Iklim yang lebih baik untuk penerbitan surat kabar generasi pertama ini baru muncul pada pertengahan abad 18, ketika beberapa negara, semisal Swedia dan AS, mengesahkan undang-undang kebebasan pers.

Industri surat kabar mulai menunjukkan geliatnya yang luar biasa ketika budaya membaca di masyarakat semakin meluas. Terlebih ketika memasuki masa Revolusi Industri, di mana industri surat kabar diuntungkan dengan adanya mesin cetak tenaga uap, yang bisa menggenjot oplah untuk memenuhi permintaan publik akan berita.

Seiring dengan semakin majunya bisnis berita, pada pertengahan 1800-an mulai berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan majalah.

Kantor berita bisa meraih kepopuleran dalam waktu sangat cepat. Pasalnya, para pengusaha surat kabar dapat lebih menghemat pengeluarannya dengan berlangganan berita kepada kantor-kantor berita itu daripada harus membayar wartawan untuk pergi atau ditempatkan di berbagai wilayah. Kantor berita lawas yang masih beroperasi hingga hari ini antara lain Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France Presse (Prancis).

Tahun 1800-an juga ditandai dengan munculnya istilah yellow journalisme (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk “pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst.

Ciri khas jurnalisme kuning adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu: meningkatkan penjualan! Jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.

Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS awalnya memang partisan, serta dengan mudah menyerang politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif dan berimbang. Namun para wartawannya kemudian memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.

Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong para wartawan untuk membentuk organisasi profesi mereka sendiri. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang tidak bias dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme profesional.

Bagaimana dengan di Indonesia? Tokoh pers nasional, Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam bukunya “PWI di Arena Masa” (1998) menulis, Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono (1875-1918), pendiri mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang jadi harian, sebagai pemrakarsa pers nasional. Artinya, dialah yang pertama kali mendirikan penerbitan yang dimodali modal nasional dan pemimpinnya orang Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya, pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Haryadi Suadi menyebutkan, salah satu fasilitas yang pertama kali direbut pada masa awal kemerdekaan adalah fasilitas percetakan milik perusahaan koran Jepang seperti Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung), dan Sinar Baroe (Semarang) (”PR”, 23 Agustus 2004).

Menurut Haryadi, kondisi pers Indonesia semakin menguat pada akhir 1945 dengan terbitnya beberapa koran yang mempropagandakan kemerdekaan Indonesia seperti, Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), dan The Voice of Free Indonesia.

Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan. Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.

Jurnalisme kuning pun sempat mewarnai dunia pers Indonesia, terutama setelah Soeharto lengser dari kursi presiden. Judul dan berita yang bombastis mewarnai halaman-halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru. Namun tampaknya, jurnalisme kuning di Indonesia belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional semacam itu.

Teknologi dalam Jurnalisme

Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan teknologi publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun 1880-1900, terdapat berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang paling menonjol adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita bisa ditunda hingga malam hari dan mulai munculnya foto di surat kabar.

Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian di koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam pita, walaupun belum banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu.

Pada 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena berita yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan dengan munculnya televisi.

Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era 1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi berita. Selain deadline bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy cetak yang bisa dilakukan secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan marketing mengalami perubahan sangat besar dengan penggunaan komputer di industri media massa.

Memasuki era 1990-an, penggunaan teknologi komputer tidak terbatas di ruang redaksi saja. Semakin canggihnya teknologi komputer notebook yang sudah dilengkapi modem dan teknologi wireless, serta akses pengiriman berita teks, foto, dan video melalui internet atau via satelit, telah memudahkan wartawan yang meliput di medan paling sulit sekalipun.

Selain itu, pada era ini juga muncul media jurnalistik multimedia. Perusahaan-perusahaan media raksasa sudah merambah berbagai segmen pasar dan pembaca berita. Tidak hanya bisnis media cetak, radio, dan televisi yang mereka jalankan, tapi juga dunia internet, dengan space iklan yang tak kalah luasnya.

Setiap pengusaha media dan kantor berita juga dituntut untuk juga memiliki media internet ini agar tidak kalah bersaing dan demi menyebarluaskan beritanya ke berbagai kalangan. Setiap media cetak atau elektronik ternama pasti memiliki situs berita di internet, yang updating datanya bisa dalam hitungan menit. Ada juga yang masih menyajikan edisi internetnya sama persis dengan edisi cetak.

Sedangkan pada tahun 2000-an muncul situs-situs pribadi yang juga memuat laporan jurnalistik pemiliknya. Istilah untuk situs pribadi ini adalah weblog dan sering disingkat menjadi blog saja.

Memang tidak semua blog berisikan laporan jurnalistik. Tapi banyak yang memang berisi laporan jurnalistik bermutu. Senior Editor Online Journalism Review, J.D Lasica pernah menulis bahwa blog merupakan salah satu bentuk jurnalisme dan bisa dijadikan sumber untuk berita.[3]

Idealisme Seorang Jurnalis

Suatu kebahagiaan tersendiri ketika kita telah mengenal dan mengetahui bakat sendiri. Terlepas dari benar tidaknya perasaan tersebut, setidaknya hal tadi bisa menjadi modal untuk peningkatan rasa percaya diri yang penting untuk dimiliki sebelum memilih dan menetapkan jalan hidup yang akan ditempuh nantinya.

Menulis sendiri, terutama penulisan yang ditujukan buat konsumsi publik, merupakan aktivitas yang memerlukan kepercayaan diri tinggi. Bagaimana mungkin kita bisa meyakinkan orang lain lewat tulisan jika kita sendiri tidak yakin pada apa yang ditulis?

Untuk menjadi penulis yang idealis pun bisa bergantung pada keinginan, cita-cita serta idealisme yang kita pilih. Secara umum, idealisme seorang penulis bisa terletak pada penciptaan hasil karya yang orisinal. Bukan copy-cat ataupun menyadur karya penulis lain secara mentah–mentah untuk kemudian diakui sebagai karya miliknya.

Idealisme seorang penulis juga bisa bergantung pada jenis tulisan serta maksud dan konteks penulisan tersebut. Untuk konteks penulisan jurnalistik seperti peliputan misalnya, kita harus bisa menuliskan segala sesuatunya secara apa adanya. Benar–benar berdasarkan situasi dan kondisi real dalam kacamata yang obyektif. Meskipun terkadang unsur subjektif pun dibutuhkan untuk memberi kesan lebih personal pada tulisan serta untuk memberikan penilaian secara pribadi terhadap hal yang diangkat dalam tulisan tersebut. Misalnya ketika menulis tentang sebuah konser musik yang rame, maka kita harus menggambarkan tentang jalannya konser tersebut secara jujur berdasarkan keadaan di lapangan, meskipun band–band yang tampil pada konser tersebut bukan favorit kita.

Idealisme seorang penulis juga bisa terletak pada pemilihan tema tulisan, pencarian ide karya yang fresh dan orisinal, serta gaya dan karakter penulisan. Ada penulis yang akan selalu memilih tema hukum atau memasukkan unsur dan nuansa dunia bawah tanah ke dalam setiap novel yang di-tulisnya. Atau ada juga yang konsisten untuk selalu mencari ide–ide baru yang bersifat imajinatif atau fiksi untuk kemudian diolah ke dalam bentuk tulisan ketimbang berdasarkan pada situasi real yang saat ini terjadi misalnya. Semuanya bisa saja tergantung pilihan kita. Idealisme yang dimaksud di sini lebih kepada penulisan tanpa adanya pengaruh atau tekanan dari orang lain. Meskipun ada juga yang memilih berdasarkan pesanan pihak tertentu karena didorong oleh motif yang lain. Misal menulis suatu buku dengan tema yang menyesuaikan dengan tren favorit yang sedang digandrungi sebagian besar publik saat ini atas permintaan suatu penerbit. Hal ini pun sah saja, karena patut diingat juga bahwa selain misi tertentu yang dibawa oleh seorang penulis, banyak faktor lain yang bisa berpengaruh terhadap seorang penulis. Seperti faktor kontinuitas tulisan misalnya. Terutama buat mereka yang telah menggantungkan hidup sepenuhnya dari jalan penulisan ini. Selama karya yang ditulis bukan hasil jiplakan dan berdasarkan kebohongan atau pemutarbalikan suatu fakta.

Penulis tidak pasaran mungkin bisa diartikan kepada penulis yang memiliki gaya atau karakter tersendiri dalam menulis. Penilaian atas baik buruknya suatu karya bergantung pada penerimaan publik atau pasar. Meskipun pasar ini bisa terbagi atas pasar secara mayoritas yang ditandai oleh kesuksesan suatu penulis secara komersial ataupun pasar dengan segmentasi tertentu, seperti laku dan diminati hanya oleh suatu komunitas.

Gaya dan karakter penulisan bisa lahir dari suatu proses penulisan yang dilakukan secara kontinu berdasarkan wawasan serta pengalaman hidup seorang penulis. Sangat jarang seorang penulis langsung memiliki karakter kuat pada penulisan pertama mereka. Seorang penulis sekaliber Charles Dickens pun harus mengalami proses penolakan terlebih dahulu sebelum akhirnya sukses melahirkan karya–karya besar.

Untuk bisa mendapatkan karakter khas, bisa dimulai dengan meningkatkan kepekaan terhadap segala sesuatu. Kepekaan dibutuhkan untuk mampu mengikat pembaca lebih emosional terhadap suatu tulisan. Selain itu ada baiknya juga kalau kita mulai menambah wawasan dengan membaca berbagai buku sebanyak mungkin. Untuk menambah referensi sekaligus mencari inspirasi karakter penulisan. Kita pasti bisa membedakan antara terinspirasi atau terpengaruh dengan meniru.[4]

Epilog

“Dunia dalam dunia”. Itulah ungkapan yang akhirnya muncul dari benak penulis ketika mencermati fenomena alam yang diciptakan oleh para manusia. Bahwa dalam rangka mempertahankan eksistensinya masing-masing, manusia cenderung menciptakan dunia mereka sendiri-sendiri. Ada yang memilih untuk memasuki dunia jurnalistik. Ada yang memilih untuk masuk ke dalam dunia politik. Ada juga yang masuk dalam dunia remang-remang. Mungkin memang seperti itulah sunnatullah. Bahwa setiap manusia akan mencari komunitas atau dunia kecil mereka untuk dapat terus bertahan hidup dalam dunia besar mereka. Dan itu sah-sah saja, toh manusia juga dibekali dengan berbagai potensi dan bakat yang beraneka ragamnya.

Sementara dunia jurnalistik sendiri; pers, wartawan, koran, media, adalah sebagian kecil dari dunia-dunia kecil yang ternyata mempunyai akar sejarah yang sangat panjang. Maka bagi siapa saja yang memang benar-benar tertarik untuk memasuki dunia jurnalistik atau pers -yang kata sebagian besar pelakunya disebut dunia tanpa koma-, maka yang dibutuhkan adalah niat yang kuat, kerja keras, stamina yang prima, juga latihan dan belajar yang tak berkesudahan. Dan yang lebih penting lagi –menurut opini penulis-, bahwa apapun yang telah kita lakoni dalam episode kehidupan kita seyogyanya agar selalu dibarengi dengan niat yang benar. Setiap tulisan hakekatnya mempunyai ruh. Entah ia berbentuk apa, namun bagi seorang muslim, ruh sebuah tulisan itu ada dan terletak pada kejujuran dan keihklasan dalam proses menulis. Menulis untuk berdakwah. Menulis untuk transformasi ilmu. Menulis untuk berbagi informasi positif kepada sesama. Selamat menulis, selamat memasuki dunia tanpa koma, tanpa jeda. Sebab kalau rotasi bumi berjeda, maka kiamatlah sudah. Lalu, appa kata duniaa…??.[]

Catatan:
*) Materi ini disampaikan dalam acara Up-Grading Kru Buletin Prestasi Kelompok Studi Walisongo (KSW) di Griya Jawa Tengah pada hari Ahad, 7 Oktober 2007.

[1] ASM. Romli, makalah pada diklat menulis di Quadrant Writing Institute, Universitas Kebangsaan (UK) Bandung, April 2007.
[2] Disarikan dari makalah Dian Amalia; “Pengantar Ilmu Jurnalistik”, 26 April 2007.
[3] Data diperoleh dari situs Pikiran Rakyat.
[4] Dicuplik dari artikel Tim RESEARCH & DEVELOPMENT DIVISION SADSONIC LABS MANAGEMENT 2006.

Nb: Tulisan ini juga disarikan dari berbagai sumber lainnya.

0 komentar: