Bengkel Karya SMART

Rabu, 03 September 2008
Jelmaan Perhatian?
[M. Luthfi al-Anshori]

Engkau adalah seorang penulis yang pandai melukiskan suasana pada dinding kata-kata. Engkau adalah seorang pujangga yang lincah menorehkan tinta dalam lembaran-lembaran kata bermakna. Engkau adalah buruh kata yang katanya suka mengais dan mengumpulkan kata-kata dari manapun kau bisa menemukannya. Engkau adalah pengrajin kata yang hasil kerajinanmu menciptakan berbentuk bahkan beraneka guratan prosa indah nan menawan. Lalu mungkin engkau akan menjadi pengusaha kata yang kata-katamu tidak mudah kau lepaskan tanpa ada kompensasi yang sepadan. Bahkan engkau adalah kata-kata itu sendiri yang nantinya akan menjadi bahan bacaan setiap orang yang melihatmu, memandangmu, dengan cukup lama, lalu menguraikan keadaanmu melalui kata-kata pula.

Aku adalah penikmat sastra yang bisa terbawa kemana-mana sesuai variasi suasana yang terselip di balik kata. Aku adalah pengagum para pujangga yang pandai membuat karangan kata sebagai persembahan kekayaan rasa. Aku menempatkan mereka pada posisi tinggi karena telah banyak mengungkap rahasia bahkan misteri di balik setiap peristiwa lewat guratan kata. Aku menilai kata-kata. Memilah-milahnya. Yang enak dirasakan akan aku simpan dalam dinding ingatan, sebagai hadiah terindah dari malaikat kata. Dan yang tak enak tetap akan kujadikan pelajaran supaya aku tidak meniru untuk menggunakannya. Bahkan terkadang aku ingin membeli kata-kata. Walau entah dengan apa. Dan aku adalah pengagum engkau, karenamu adalah bagian dari kata-kata dan para pujangga.

… ◊□◊ …

Aku telah mengakui engkau sebagai seorang penulis. Iya. Engkau penulis fiksi yang konon katanya adalah manusia kaya rasa. Manusia yang mampu menuangkan segala apa yang terlihat oleh mata maupun indera lainnya dalam barisan kata. Pembacaanmu terhadap gejala alam maupun peristiwa-peristiwa keseharian bisa jadi sangat berbeda dengan pembacaan orang-orang pada umumnya. Betul. Engkau lebih peka!.

Kepekaanmu itulah yang aku lihat sebagai potensi diri termahal untuk menjadikanmu sebagai manusia arif dan bijaksana. Lalu darinya kau akan mampu dengan mudah mencerna dan merespon setiap fenomena hingga akan tercipta satu penyikapan yang sesuai dan selayaknya. Entah itu merupakan suasana dalam nuansa kebencian, keganjilan, hingga pada setiap perhatian maupun kasih sayang dari berbagai unsur di luar dirimu.

Kepekaan yang telah aku ungkapkan sebelumnya memang mempunyai potensi positif menuju matra kelembutan rasa. Namun sama dengan benda maupun obyek-obyek lainnya yang selalu tersusun oleh dua kutub, positif dan negatif, kepekaanmu pun demikian. Dengan bekal kepekaan itu kini aku justru melihatmu seperti terasingkan. Terasingkan akibat kelalaianmu atas konsistensi terhadap ketepatan dari sikap kepekaanmu itu sendiri. Kau menjadi terasingkan. Atau mengasingkan diri. Atau engkau justru sengaja ingin mengendapkan diri sejenak dalam keterasingan. Hingga pada saatnya nanti kau akan mampu dengan fashih menerjemahkan keterasingan, terasingkan, diasingkan atau mengasingkan!?.

… ◊□◊ …

Kalau saat ini aku boleh berkata-kata tentang engkau, maka aku akan mengatakan yang sejujurnya. Jujur, saat ini aku justru benci melihatmu hanya bisa menuliskan kata. Betapa banyak kata-kata yang telah kau bariskan mesra dan sarat makna. Analisamu juga terasa lebih tajam dan mendalam. Pembacaanmu akan sesuatu yang aku anggap biasa bisa kau gubah menjadi sesuatu yang luar biasa, dengan kata-kata yang kau pahatkan rapi. Namun, aku melihat engkau tidak seperti engkau. Engkau telah berubah. Engkau telah berubah menjadi seorang penulis hebat. Tapi engkau juga telah berubah menjadi pengembara yang seakan kehilangan arah. Walaupun hal itu sekali lagi mungkin justru akan menghasilkan kata-kata yang lebih indah. Tapi bagaimanapun juga keadaan jiwamu telah berubah.

Sebelumnya dirimu mungkin merasa megah. Dengan hasil karyamu yang melimpah ruah. Dan sebentar lagi engkau benar-benar akan menjadi pengusaha kata. Merasa kaya kata. Tapi sebenarnya rasamu justru tidak lagi peka, karena dahulu telah terlalu peka. Entah mengapa!?

Maafkan aku jika terlalu berani berbicara tentangmu. Bahkan berani menyimpulkan keadaanmu tanpa melakukan konfirmasi terlebih dahulu. Lalu jika aku boleh berkata-kata lagi, bahwa sebenarnya telah banyak orang yang entah dengan sengaja atau tidak melakukan pembacaan terhadapmu. Setidaknya mereka selalu ingin mengerti perkembangan terbarumu. Telah sampai dimana perjalananmu. Mereka senantiasa memperhatikanmu. Mereka selalu menyisihkan waktu untuk sekedar ingin menyapamu. Menanyakan keadaanmu. Bagaimana kabarmu.

Perhatian. Iya, perhatian. Dahulu hingga sekarang orang-orang justru suka mencari-cari perhatian. Karena bagi mereka perhatian adalah kebahagiaan. Perhatian adalah kasih sayang. Perhatian adalah pengakuan terhadap eksistensi diri. Perhatian adalah kekayaan yang tak terperikan.

Namun perhatian juga bisa menjelma menjadi neraka. Dan itulah fenomena yang aku lihat saat ini pada diri para elite, artis, bangsawan, dan juga pada dirimu. Dengan berbagai hasil kerajinanmu, kini banyak orang yang memperhitungkanmu. Bahkan hanya dengan melihat potensi besar yang melekat kontras pada dirimu, orang-orang telah banyak memperhatikanmu. Para kaum pembaca yang belum mengenalmu, apalagi teman-temanmu yang telah sejak lama hidup berdampingan denganmu.

Perhatian itu sekali lagi telah mengalir ke pangkuanmu. Dari banyak arah. Dengan berbagai latar belakang yang mungkin tak sewarna. Teman-temanmu mungkin lebih memperhatikanmu karena hubungan “pertemanan” itu sendiri. Yang ruh serta semangatnya mendukung untuk selalu bertanya; “bagaimana kabarmu? Ada yang bisa dibantu?”.

Hanya saja perhatian itu kini hanya menjadi “hantu”. Maaf jika aku ngelantur. Maaf jika aku hanya mengada-ada dan mengira-ngira. Namun itulah yang aku lihat memancar dari wajahmu, dari gerak langkahmu yang seakan terus menghindar dari waktu. Dalam sesekali waktu aku merasakan engkau benar-benar dihantui oleh perhatian. Oleh pemantauan. Oleh kasih sayang yang entah karena apa justru berubah menjadi tuntutan dan gugatan.

… ◊□◊ …

Hei…! Sekali lagi aku katakan: “engkaku adalah seorang penulis. Engkau adalah manusia arif. Engkau akan mampu membaca sesuatu dengan analisa kritis. Dengan rasa yang telah engkau masak, melalui berbagai rempah peristiwa dunia. Hingga kau benar-benar menjadi peka!”.

Saat ini, kepekaanmu seakan lenyap dihempas terpaan kebingungan dan kegalauan. Iya. Aku melihatmu sedang kebingungan. Dimanakah wujud dari kehambaanmu yang selama ini terbangun di atas pondasi-pondasi keimanan? Dimanakah hasil kerajinan tanganmu yang selama ini kau banggakan akan menghasilkan? Dan kata-katamu yang selama ini kau tabung, justru membuatmu miskin dari kata-kata. Kau diam. Kau tak mampu berkata jujur dan berteriak lantang meminta kemerdekaanmu yang telah lama kau impikan.

Tak ayal! Tak mengherankan jika perhatian yang datang justru membuatmu gerah. Perhatian datang merampas kemerdekaan. Perhatian serta ketulusan justru kau sambut dengan keacuhan.

Aku tau engkau belum mati rasa. Aku melihat kepekaanmu masih ada. Namun aku merasakan engkau tengah berusaha menyembunyikannya. Untuk menenangkan diri. Untuk mencoba mencari kebebasan. Kebebasan yang telah lama engkau perjuangkan.

Engkau manusia. Engkau tercipta memang untuk merdeka. Engkau diberi hak untuk menciptakan kemerdekaan dalam dirimu sendiri. Tapi kemerdekaan yang mutlak, mungkin tidak berlaku dalam masyarakat manusia. Dalam relasi keseharian yang menyediakan ruang untuk saling membutuhkan. Kemerdekaan mutlak hanya ada di hadapan Tuhan. Sedang di kalangan manusia ia senantiasa dibatasi norma-norma. Karena kemerdekaan, kebebasan, yang ingin kita raih sendiri bisa jadi menyakiti manusia lainnya, mencemari lingkungan dan ekosistem, lalu membuatnya tidak seimbang dan terjadi ketimpangan.

… ◊□◊ …

Sudah aku bilang aku hanya penikmat. Aku hanya pengagum. Aku hanya pembaca. Maka biarkanlah aku bebas membacamu. Setidaknya untuk kali ini saja. Karena aku masih mengakuimu sebagai temanku.

Teman…! Aku benar-benar melihatmu dalam kebingungan. Aku mendapatimu dalam keterasingan. Dan dengan penglihatan itulah aku dan mereka menawarkan perhatian. Mengulurkan tangan bantuan atas nama persahabatan. Atas naungan kebersamaan. Namun sekali lagi jika perhatian, bantuan, maupun kebersamaan itu masih terus menghantuimu untuk mendekat padaku, pada mereka, aku dan mereka pun akan mencoba mencari atas nama dan atas nama lain untuk bisa mendekatimu.

Atau tak perlu dengan itu semua! Karena sebenarnya kamu sudah punya bekal dan potensi untuk kembali menapaki keyakinan dan ketetapan jiwa. Dengan kekayaan rasa yang sejak dulu telah kau bina. Dengan kepekaan indera yang dahulu sempat kau asah lalu kini sedang kau pendam. Iya. Kau tinggal kembali mengaktifkan fungsi masing-masing kekayaanmu tadi. Dengan kata-katamu berbicaralah padaku, pada mereka. Lalu kita coba bersama menguraikan kebingungan. Kita bersama menyatukan kata. Dan kita bersama menggabungkan kesepahaman atas arti sebuah perhatian.

Terlalu lama membiarkan diri dalam lembah kebingungan dan diam adalah penyiksaan. Mengagungkan kemerdekaan dan kebebasan yang justru mengasingkan adalah kesalahan. Ayoo… segera beranjak dari kesendirian. Kami tidak akan lagi menawarkan perhatian, jika kau sendiri datang membawa kesadaran. Dan perhatian yang menjadi hantu sebenarnya tak akan pernah ada jika kau tidak menganggapnya ada. Ia hanya secara alami datang merespon gejala alam. Yang menuntunnya datang menawarkan pertolongan.

Engkau adalah penulis. Engkau adalah pujangga. Engkau adalah buruh kata. Engkau juga pengrajin kata. Dan bila telah tiba saatnya nanti engkau akan menjadi pengusaha kata.

Engkau telah mempunyai kepekaan rasa. Engkau berpotensi menjadi arif dan bijaksana. Engkau telah mampu memfungsikan itu untuk menghasilkan sebuah karya. Iya. Karya fiksi.

Dan engkau adalah manusia. Sebagaimana manusia lainnya yang ternyata masih menyimpan sifat lupa, sifat kemanusiawian manusia. Maka terkadang kau terjerembab dan terjerat dalam dunia fiktif. Hingga kau terjauh dari dunia nyata.

Masih ada waktu untuk kembali. Masih banyak ruang untuk memperbaiki diri. Masih banyak teman yang siap menemani. Bukankah keterasingan itu menyebalkan?! Bukankah perhatian yang menjadi hantu itu menakutkan!? Silahkan engkau baca sendiri dengan pembacaanmu sebagai seorang penulis. Sebagai seorang pujangga. Sebagai seorang yang kaya rasa. Dan sebagai teman yang memahami perhatian temannya![]

Di Pertigaan Kampung Sepuluh Kairo, 31 Mei ’07, 11.45

0 komentar: